Elegi

Elegi. Zhongchi.


Senandung duka cita dari diriku yang ku unjukkan kepadamu lewat secarcik kertas lusuh ini.


Halo, selamat pagi. Atau entah jam berapa sekarang disana aku tak tahu tepatnya, aku hanya mengira-ngira saja. Bagaimana kabarmu? Ku harap kau melakukan yang terbaik, aku senang kalau begitu. Sudah lama, ya kita tak bertemu sapa? Entah sudah berapa lama, aku tak bisa mendengar suara indahmu lagi. Ah... aku sangat rindu.

Disini aku melakukan semampuku, jangan Khawatir! Aku bisa melakukannya sendiri kok!!! Jangan khawatir, oke? Aku lebih baik daripada yang kamu kira.

Aku sekarang, masih suka pergi ketempat yang dahulu kau sering kunjungi. Tak berubah sama sekali loh, masih tetap sama saat terakhir kali kita datang bersama kesana. Atmosfernya malah lebih sejuk sekarang, karna sepertinya mereka menambahkan beberapa pohon tinggi untuk menghalau cahaya matahari untuk masuk.

Oh iya, Teucer sering menanyakan keberadaanmu, katanya ia rindu dan ingin sekali bertemu denganmu. Namun ku jawab, kalau kamu sedang pergi ke luar negri dan menetap permanen disana. Aku melakukannya agar dia tak lebih memaksaku mengantarkannya bertemu denganmu.

Namun aku salah, justru ia malah semakin menjadi katanya 'aku tak perduli sejauh apa Xiansheng pergi aku ingin bertemu dengannya.' Dia mengatakan sambil menangis jelek hahaha, andai kau bisa melihatnya sendiri. Itu sangat lucu.

Sepertinya Teucer sudah kepalang rindu denganmu, Xiansheng. Sama sepertiku yang setiap hari merindu dirimu, bagai punguk merindukan bulannya. Kapan ya, kira-kira kita dapat bertemu kembali?

Xiansheng, aku juga ingin, aku juga ingin menjadi sepertimu yang pergi tak mengharap untuk kembali.

Setiap malam ku rapalkan segala do'a agar Tuhan mau mengambil nyawaku dan mengirimkan jiwaku untuk bersemayam dengan tenang bersamamu disana, berdua.

Ku habiskan waktuku sebentar untuk sekedar meminum obat dengan dosis yang banyak, mengharap aku bisa segera menyusulmu. Atau aku mencoba memotong urat nadiku yang berada di pergelanganku.

Namun semua itu gagal, sepertinya Tuhan lebih memilihku untuk membiarkanku hidup dan terus berjalan bersama mimpiku disini. Tuhan belum mengizinkanku untuk cepat-cepat bertemu denganmu. Maafkan aku, ya?

Jikalau memang nanti sudah waktunya, aku akan dengan segera menyusulmu kesana. Apakah kamu rela untuk menungguku lebih lagi? Tanpa memandang seberapa lama lagi kita akan benar benar bertemu, bercakap dan memeluk seperti biasa? Aku harap kau bisa.

Xiansheng, tolong tunggu aku.

Sedari yang merindu : Childe. Teruntuk yang di rindu : Zhongli.

Si Lemah.

Ottoge / YuuToge au.


Jangan benci dirimu, pagi yang berat kasur yang erat. Menahan dirimu bersinar, berguna di mata dunia.


sayang, aku di depan.

Toge yang melihat notifikasi dari Yuuta, bergegas menuju pintu depan dengan tak sabar. Begitu pintu terbuka, si surai perak mendekap si surai gelap dengan erat, seakan tak ada hari esok yang tersisa.

Yuuta tersenyum, membalas pelukan dari sang terkasih, memberikan semangat tak tersirat dari sentuhan yang ia beri lewat tepukan menenangkan pada punggung si pemuda yang lebih mungil.

Tak ada yang bersuara. Masih berdiri di ambang pintu, keduanya terjebak dalam kesunyian yang nyaman hingga tak ada satu pun yang ingin pindah ke dalam.

Hingga...

“Toge, masuk dulu, yuk? Kita lanjut pelukannya di dalam aja.” Yuuta berujar lembut. Toge yang mendengar itu, mengangguk singkat. mengendurkan pelukannya pada Yuuta, kemudian mempersilahkan sang kekasih untuk masuk.

Setibanya di ruang tamu, keduanya kembali berdiam diri. Menunggu salah satu dari mereka memulai cakap. Hingga akhirnya Yuuta menangkap kode yang diberikan oleh Toge.

“Sini, kita lanjut lagi pelukannya.” Yuuta menepuk-nepuk space kosong disebelahnya. Toge mengangguk singkat, mendekat kemudian mendekap Yuuta lebih erat dari sebelumnya.

Lagi, Yuuta hanya bisa tersenyum maklum atas perilaku Toge. Ia tak perotes hanya mengikuti segala yang diinginkan oleh sang kekasih. Hingga beberapa saat berlalu, Yuuta merasakan bahu sebelah kirinya basah, dan diikuti dengan isak tangis tertahan yang samar memasuki pendengarannya.

“Toge, kalau mau nangis ayo nangis aja. Jangan ditahan, keluarin semua yang selama ini kamu tahan, keluarin semua beban yang kamu pikul selama ini tanpa aku tahu.

Kamu bukan orang yang lemah, kamu adalah orang terkuat yang pernah aku temui, kamu nggak pernah peduli akan opini orang, kamu selalu percaya kepada dirimu sendiri.

Tapi entah kenapa kamu hari ini, overthink lagi, padahal kamu udah ga seperti itu sejak sebulan yang lalu.” Yuuta menjeda kalimatnya. Hanya sekadar ingin mengusap punggung Toge yang kini mulai menangis lebih keras dibandingkan sebelumnya.

“Ngak papa kalau kamu merasa lemah sesekali. Karna setiap manusia punya titik kelemahannya masing-masing. Jangan selalu kau tutupi lemahmu. Kamu tau, ngga? Kamu itu sebenernya harus buat semesta itu menerima dirimu apa adanya.”

Yuuta tersenyum, melepaskan pelukannya kemudian menangkup wajah bundar sang terkasih, “Kalau mereka nggak mau, ya sudah relakan saja. Masih banyak senyum di dunia ini yang mau menerima kurangmu, seperti aku, Maki, Panda, Megumi, Nobara, dan Yuuji.

Ingat, Toge, semua orang berbeda. Contoh, kamu berbeda dari Rika dan begitu juga sebaliknya. Oke? Jangan benci dirimu karna hal itu.” Tungkas Yuuta. Toge semakin menangis, mengangguk kemudian memeluk prianya lagi.

Toge sekarang merasa sangat bersyukur karna ia mempunyai Yuuta sebagai kekasihnya, rumahnya untuk berpulang. Lelaki gagah nan manis akan segala ucap dan perilakunya.

Yuuta dengan senang hati menerima dirinya yang terlampau kurang, sedangkan Yuuta terlampau cukup. Bahkan sempurna.

“Hiks, Yuuta makasih banyak, huhu.” Toge semakin mengeratkan pelukannya pada Yuuta. Membuat yang dipeluk hanya mengangguk seraya berucap “sama-sama”.

“Udahan nangisnya, yuk? kasian nanti matanya sakit kebanyakan nangis.” Yuuta mengusap-usap pelupuk mata Toge.

'bengkaknya.' batinnya.

“Jangan diliatin, huhu. Malu pasti lagi berantakan banget sekarang,” rengek Toge. Yang dibalas Yuuta dengan gelengan kepala pertanda tak benar.

“Ngga tau, haha,” Yuuta tertawa sebelum melanjutkan, “Sehabis ini kamu jangan overthink lagi kaya tadi, ya? Ngga baik, sayang.”

Toge mengangguk dengan bersemangat. Tak lupa mengucapkan 'terima kasih' berulang kali pada sang terkasih.

“Terima kasih, Yuuta.”

“Sama-sama, Toge.”


END.

Si Lemah.

Ottoge / YuuToge au.


Jangan benci dirimu, pagi yang berat kasur yang erat. Menahan dirimu bersinar, berguna di mata dunia.


sayang, aku di depan.

Toge yang melihat notifikasi dari Yuuta, segera bergegas berlari menuju pintu depan. Membukanya dengan tak sabar, si surai perak mendekap si surai gelam dengan erat, seakan tak ada hari esok untuk ia sisakan.

Yuuta tersenyum, membalas pelukan dari sang kasih, memberikan semangat tak tersirat dari sentuhan yang ia beri lewat tepukan menenangkan pada punggungnya.

Mereka tak ada yang bersuara, mereka terjebak dalam kesunyian yang nyaman. Masih berdiri di ambang pintu, tak ada satu dari mereka yang ingin bergerak; berpindah kedalam.

Hingga...

“Toge, yuk masuk dulu? Kita lanjut peluknya didalam aja.” Yuuta berujar lembut. Toge yang mendengarnya mengangguk singkat, mengendurkan pelukannya dari Yuuta kemudian mempersilahkan Yuuta masuk.

Di dalam mereka sama-sama diam, menunggu salah satu dari mereka memulai cakap, namun kode dari Toge membuat Yuuta cukup paham akan maksud si surai perak tersebut.

“Sini, kita lanjut lagi pelukannya.” Yuuta menepuk-nepuk space kosong disebelahnya. Toge mengangguk singkat, mendekat kemudian mendekap Yuuta lebih erat dari sebelumnya.

Lagi, Yuuta hanya bisa tersenyum maklum atas perilaku Toge, ia tak perotes hanya mengikuti saja apa yang Toge inginkan. Beberapa saat, Yuuta mulai merasakan bahu sebelah kirinya basah, dan samar mendengar isak tangis tertahan.

“Toge, kalau mau nangis ayo nangis aja. Jangan ditahan, keluarin semua yang selama ini kamu tahan, keluarin semua beban yang kamu pikul selama ini tanpa aku tahu,

Kamu bukan orang yang lemah, kamu adalah orang terkuat yang pernah aku temui, kamu nggak pernah perduli akan opini orang, kamu selalu percaya kepada dirimu sendiri.

Tapi entah kenapa kamu hari ini, overthink lagi, padahal kamu udh ga seperti itu sejak 1 bulan yang lalu.” Yuuta menjeda kalimatnya, sekedar hanya ingin mengusap punggung Toge, yang kini mulai menangis lebih keras dibandingkan yang tadi,

“gapapa kalau kamu merasa lemah sesekali, karna setiap manusia punya titik kelemahannya masing-masing, jangan selalu kau tutupi lemahmu. Kamu tau ngga? Kamu itu sebenernya harus buat semesta itu menerima dirimu yang apa adanya,”

Yuuta tersenyum, melepaskan pelukannya kemudian menangkup wajah bundar sang terkasih,

“Kalau mereka nggak mau, ya sudah relakan saja. Masih banyak senyum di dunia ini yang mau menerima kurangmu, seperti aku, Maki, Panda, Megumi, Nobara, dan Yuuji.

Ingat, Toge semua mempunyai perbedaan masing-masing. Contoh, kamu berbeda dari Rika dan Rika juga berbeda dari kamu. Oke? Jangan benci dirimu karna hal itu.” Tungkas Yuuta. Toge semakin menangis, mengangguk kemudian memeluk prianya lagi.

Toge sekarang merasa sangat bersyukur karna ia mempunyai Yuuta sebagai kekasihnya, rumahnya untuk berpulang. Lelaki gagah nan manis akan segala ucap dan perilakunya.

Yuuta dengan senang hati menerima dirinya yang terlampau kurang, sedangkan Yuuta terlampau cukup. Bahkan sempurna.

“Hiks,

Delusional.

SakuAtsu Au.


Saat ku terbangun dipagi hari, selalu bayanganmu yang terlintas dalam benakku. Selalu menahan tangis dan selalu gagal untuk kesekian kalinya.

Rasanya sangat sakit saat bayang wajahmu selalu muncul di otakku tanpa pernah meminta izin, padahal bukan aku yang meminta.

Kau sendiri yang menghapus jarak diantara kita berdua, namun kenapa harus aku yang menahan bebannya? Tak maukah engkau?

Pertanyaan demi pertanyaan kulemparkan pada diriku sendiri, mengapa aku bisa terlalu bersemangat menyambutmu hadir dengan membentangkan tangan selebar samudra; ketika engkau akhirnya pergi meninggalkan luka?

Ku coba untuk hentikan sang waktu hanya demi lebih lama denganmu, namun aku selalu gagal; tolong ajarkan aku ikhlas untuk merelakan kepergiannya dirimu.


Monokrom.

LangaReki Au!


Kita renggang bagai tali tambang yang terus ditarik kuat dan kemudian akan terputus dengan sendirinya.


Aku selalu menunggu waktu yang tepat untuk berbincang dengan dirimu, namun kau selalu menjauh dengan alasan yang tak selalu masuk akal. Aku selalu menunggu demi berjumpa denganmu.

Aku selalu bertanya-tanya, apakah aku pernah membuat mu marah? atau apakah aku pernah membuat kesalahan yang tak kusadari sehingga membuat mu tersinggung?

kau selalu menghindari ku saat kita tak sengaja bertemu sapa, wajah dengan wajah. Ingin ku tahan tanganmu namun.. rasanya sia-sia, ya?


“Langa?” Dengan berani ku sebut namamu. Tak gentar meski kau megabaikanku, aku terus mencoba meski kau enggan untuk menenggok.

“Bisa kita bicara sebentar?” Menunggu jawab dengan harap-harap cemas, takut kau menolak.

“ya.” namun, jawabanmu membuatku terkejut.

akhirnya kami berjalan, seiringan kembali untuk pertama kalinya. aku sangat senang, aku bisa bersebelahan denganmu setelah sekian lama kita tak bersua.

aku membawanya ke Rooftop sekolah, tempat dimana diriku dan Langa untuk pertama kalinya bertemu. ah, aku sedikit bernostalgia menginggat hari-hariku yang indah bersama Langa.

“Kau ingin membicarakan apa?”

rupanya ia tak suka untuk berbasa basi untuk sekarang, padahal aku ingin lebih lama berbincang dengan mu.

“eum..”

bisa kulihat ia menaikkan sebelah alisnya, menandakan wajah yang... kesal.. mungkin??

“Jika tak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku duluan.” Ujar Langa. saat Dirinya ingin beranjak, dengan cepat ku raih pergelangan tangannya.

“T-tunggu sebentar.” aku menjeda kalimatku, mempersiapkan hatiku untuk mengutarakan hal yang selama ini menganggu fikiranku, “Kau mengapa akhir-akhir ini selalu mengabaikanku? apakah aku pernah membuatmu tersinggung dengan perkataan ku? apakah aku pernah membuatmu merasa tidak nyaman dengan perbuatanku?”

Bisa kurasakan mataku mulai berair,

Antara Pagi dan Kau.

NanaGojo Au!


Jika ada hal yang harus aku pilih, selalu hidup dalam bayang masa lalu atau berfokus kepada bayang masa depan; maka dengan senang hati diriku akan menjawabnya dengan pilihan opsi yang kedua.

Bukan, bukan karna bayang masa lalu itu buruk. Namun, kita tidak boleh terus terpaku dalam lingkaran yang sama bukan? Sesekali kita harus berani mengambil langkah besar dalam hidup ini.

Keluar dari zona nyaman yang sudah kita bentuk dengan sedemikian rupa, dan menghadapi kenyataan yang sesungguhnya.

Sama sepertiku yang harus memilih antara Pagi atau Kau, Nanami.


Kau sudah memutuskan akan bagaimana?” Tanya Nanami. Gojo bungkam, tak menjawab, bibirnya kelu bagai di jahit dengan rapat.

Lama tak terbalas, Nanami hanya bisa tersenyum sendu.

“Tak apa, kau tak perlu menjawab secepatnya. Kau masih punya banyak waktu, nanti, esok, ataupun lusa.” Nanami menjeda kalimatnya sebelum ranum tipis itu mengutarakan kata kembali, “aku tak terburu, pikirkan matang-matang. Aku tak memaksa juga, kau tak perlu merasa tertekan.”

Hening melanda kedua insan itu, deting jarum jam dan suara deru air hujan di luar yang menemani mereka berdua. Tak ada yang ingin berbicara barang sebentar saja.

Namun tak berselang lama, Gojo membunuh hening yang sedari tadi menemani mereka berdua.

“Entah, aku bingung. Aku ingin kau selalu ada di sini, namun aku juga tak ingin kau ada bersamaku; aku harus apa.” Ujar Gojo.

“Kau terlalu sering meninggalkanku sendiri, membiarkanku tertatih atas luka yang kau beri; terlalu perih untuk 'ku jalani sendiri.”

Pernyataan dari Gojo benar adanya, Nanami tersenyum kecut mendengarnya.

“Ya, aku memang brengsek. Sampai rasanya, diriku tak bisa menerimamu yang terlalu sempurna ini.” Nanami membawa tangan Gojo kedalam genggamannya, mengelusnya perlahan, sangat pelan.

“Sepertinya, kau sudah mempunyai jawabannya bukan?” Nanami mengucapkannya dengan suara kecil. Namun masih dapat didengar oleh telinga Gojo.

“Ya, sepertinya aku punya jawabanku sendiri. Maaf dan terima kasih.”


Aku mencintaimu sederas hujan, dan kau lebih memilih berteduh untuk menghindarinya.


Kau sempurna, dapat menjelajah dunia yang besar ini dengan kaki kecilmu yang menggiring tubuhmu kesana dan kemari.

Bahumu tegak, meski badai, angin topan, dan hujaman hujan yang keras berlari keras jatuh diatas tubuhmu. Kau sama sekali tak tergoyahkan.

Hatimu keras, sekeras batu karang yang setiap hari dihantam oleh derasnya aliran ombak yang berada dilautan, dan siap untuk melindungi serta menjadi tempat persinggahan untuk mereka; yang ingin pulang.

Kau telah banyak melewati kesusahan dalam hidupmu, namun kau tetap tegar tak bergeming. Meski sering kali 'ku lihat dirimu menghapus jejak air mata itu demi terlihat sangat kuat, aku tau bahwa sebenarnya kau adalah manusia biasa; sama seperti kita semua.

Sempat 'ku fikirkan dalam benakku, apakah kau benar-benar baik-baik saja; atau kah hanya bermain delusi akal?

Syair kepedihan sering kudengar lewat lantunan suaramu yang sering keluar dari bibir indahmu, mengisahkan kesakitan dari dalam hatimu; yang sama sekali tak pernah kau utarakan secara langsung.

Terimakasih telah mau berjuang, meski hanya sebentar.

Dialog 1; Dia yang patah dan bertumbuh dari luka.


Kau sempurna, dapat menjelajah dunia yang besar ini dengan kaki kecilmu yang menggiring tubuhmu kesana dan kemari.

Bahumu tegak, tak jatuh meski badai, angin topan, dan hujaman hujan yang keras berjatuhan diatas tubuhmu. Kau sama sekali tak tergoyahkan.

Hatimu keras, sekeras batu karang yang setiap hari dihantam oleh derasnya aliran ombak yang berada di lautan, dan siap untuk melindungi serta menjadi tempat persinggahan untuk mereka yang ingin pulang.

Kau telah banyak melewati kesusahan dalam hidupmu, namun kau tetap tegar tak bergeming. Meski sering kali 'ku lihat dirimu menghapus jejak air mata itu demi terlihat sangat kuat, aku tau bahwa sebenarnya kau adalah manusia biasa; sama seperti kita semua.

Sempat 'ku fikirkan dalam benakku, apakah kau benar-benar baik-baik saja atau kah hanya bermain delusi akal?

Syair kepedihan sering kudengar lewat lantunan suaramu yang sering keluar dari bibir indahmu, mengisahkan kesakitan dari dalam hatimu; yang sama sekali tak pernah kau utarakan secara langsung.

Hingga akhirnya kau sendiri tak bisa lagi menahan rasa sakit yang terus dikhianati oleh kehidupan yang sudah lama kau jalani, kau lebih memilih pergi tanpa ada kata perpisahan terakhir kalinya, untuk ku dengar.

Terimakasih Arataki Itto yang telah mau berjuang, meski hanya sebentar.

Tuhan sebut sia-sia

Note : narasi tanpa dialog.


Maki Zen'in, Wanita baik nan sopan, apik rupa wajahmu jikalau sedang bertegur sapa dengan sang bintang.

Tabah hatimu, tak pernah sekalipun engkau marah ataupun habis kesabaranmu. Selalu dewasa menyikapi segala sesuatu, membuatku merasa cendala.

Selaluku pinta dalam doaku, agar dirimu menjadi satu-satunya asa yang ada dalam hidupku.

Selama ini 'ku tenggelam terlalu dalam dalam asmaraloka yang telah aku buat untuk diriku sendiri, tanpa memperdulikan siapa, dan apa yang akan menimpa esok atau entah kapan.

Selalu memuja sedari jauh, tanpa pernah mau memujamu sedari dekat. Bodoh ya aku.

Sampai-sampai, Tuhan-pun menyebutku sia-sia.

Untuk apa engkau selalu memujanya sedari jauh, tanpa mau menjadikan dirinya satu-satunya manusia dihidupmu.

Perjuangan-mu selama ini sia-sia, asa dan kidung cintamu tak terbalas karna ketakutanmu sendiri.


Kini hanya ada kata perpisahan yang sudah ku persiapkan sedari jauh-jauh hari, biarkanlah ini kutulis dalam coretan tinta hitam dan kertas lusuh yang sangat ku suka.

Selamat tinggal cintaku, selamat jalan separuh hati yang tak pernah ku gapai. Terimakasih karna telah mau menerima kehadiranku disekitarmu untuk beberapa tahun.

Diriku pamit semoga kau selalu bahagia selalu, bentalaku.

Dari : sang lengkara.

Melukis Senja.

Note : narasi tanpa dialog.


Diriku sering kali lelah dengan dunia yang semakin lama, semakin sangat susah untuk hati kecilku terima. Selama ini aku selalu berjalan sendiri, membawa tungkaiku berjalan tak tentu akan kemana ia membawaku.

Tak pernah sekali terlintas dalam benakku untuk berbahagia, selalu kutanya pada diri ini, apa itu arti bahagia yang sesungguhnya?

Namun kau datang, dengan senyum sehangat mentari. Kau mengulurkan tanganmu yang hangat itu, dan dengan semangat ku sambut uluran tanganmu dengan senang hati.

Kau menggenggam erat tanganku seperti enggan melepaskannya. Tertawa akan sikapmu yang lucu itu, kau seperti anak anjing yang tak ingin kehilangan majikannya.

Namun, aku tak pernah marah, aku suka. Suka akan protectivenya dirimu, aku suka bagaimana engkau menyuntikkan kata-kata penyemangat yang belum tentu pernah ku dengar dari diriku sendiri.

Dengan seluruh kewarasan yang diriku miliki, aku memelukmu dengan erat, membawamu kedalam pelukan hangat yang sewaktu-waktu mungkin akan engkau lupa.

Saat ku berbicara seperti itu, ia tertawa remeh. Ia bilang bahwa diriku lah yang mungkin akan melupakannya, bohong.

Hati kecilku selalu berdoa semoga kebahagiaan yang kudapat sekarang, jangan cepat berlalu.

Terimakasih Okkotsu Yuuta, karna dirimu aku tau bagaimana rasanya mencintai dan dicintai.

Terimakasih karna engkau telah membawa perasaan asing yang belum pernah kurasakan sebelumnya, terimakasih karna kau tak segan masuk kedalam kehidupanku, tak perduli dengan statusmu yang notabene adalah orang asing dalam dunia ku.

Terimakasih karna engkau selalu membawaku untuk melukis senja, melihat bagaimana dirimu mengukir namaku disana dan dengan sigap mendengarku bercerita, menangis, dan tertawa.

Kau dan aku telah berjuang dengan sangat keras, menaklukkan hari-hari kita yang tak indah, walau letih, cobalah lagi, jangan menyerah. Diriku selalu ada untukmu, begitupun juga dengan dirimu selalu ada untukku, membasuh lelah yang tiada henti.

Mari kita terus coba lagi, hingga akhirnya kita dapat menemukan bahagia yang selama ini kita cari.