Dua insan kota yogyakarta
An local bajifuyu au!
(Remake from my old au)
Coba tanyakan pada setiap orang yang pernah tinggal di Yogyakarta selama beberapa waktu, mana kota yang paling romantis di Indonesia. Jawaban mereka pasti sama: Yogyakarta sebagai pilihan kota romantis mereka.
Begitupun dengan Chifuyu, jika dia di beri pertanyaan seputar Yogyakarta hal yang akan pertama kali terlintas di pikirannya pastilah Baji Keisuke. Karna, katanya, Baji Keisuke adalah salah satu dari sekian banyaknya fragmentasi yang di berikan oleh kota Yogyakarta kepada dirinya untuk dinikmati.
Ada sesuatu tentang Yogyakarta yang membuat Chifuyu selalu jatuh cinta dan dipenuhi nostalgia. Kota ini memang layaknya seorang kekasih yang memberikan rasa nyaman dan aman. Dan ketika mereka yang pernah mencicipi keromantisan kota Yogya harus menjejakkan kaki pergi dari kota ini, layaknya kekasih pula, Yogyakarta selalu dirindukan.
Sama seperti Chifuyu, yang selalu merindukan Baji.
Dan Baji, yang juga selalu merindukan Chifuyu.
Jl. Malioboro.
Pukul 20.00 malam hari.
Baji berjalan berdampingan dengan Chifuyu, kala bibirnya kelu untuk memulai sebuah percakapan, fikirannya terlalu kosong untuk sekedar membuka pembicaraan. Padahal ia yang pertama mengajak Chifuyu pergi dengannya.
Atau ia terlalu senang karna bisa berduaan dengan sang pujaan hati, yang selalu ia damba sedari Sekolah Menengah Atas.
“Kak Baji?” Panggil Chifuyu. Baji yang sedari tadi berfikir, mengalihkan atensinya kepada Chifuyu yang kini tengah berdiri didepannya.
“Hm? Ada apa, Fuyu?” Tanyanya. Chifuyu menggeleng, lantas menimbulkan seribu pertanyaan melintas dalam kepala Bajii.
“Gapapa, aku lihat wajah kakak kurang bersemangat. Kakak sedang sakit?” Tanya Chifuyu lagi. Baji menggeleng, dan memberikan Chifuyu senyum terbaik yang dia miliki.
“Aku gapapa, mungkin karna dingin? Yogyakarta sedang dingin akhir-akhir ini.” Baji berujar. Chifuyu mendelik, memberikan tatapan penuh selidik kearah Baji yang dihadiahi tatapan tanya dari orang yang ia beri sanksi mata. Yang kemudian dibalas delikan acuh dari Chifuyu.
Lalu mereka tak bersua lagi, kembali berjalan membelah kerumunan orang di Jalan Malioboro ini. Mereka berkeliling sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi kesebuah angkringan yang cukup jauh dari hiruk pikuk manusia.
Mengambil tempat berhadapan, Baji dapat leluasa melihat setiap lekuk indah wajah Chifuyu tanpa takut sang empunya memergokinya. Keheningan terasa kembali, meski angkringan ini menyetel lagu sepertinya mereka lebih suka sunyi untuk satu sama lain.
Tak ada yang ingin memulai percakapan, terlalu malu.
“Kak Baji tidak suka pergi bersama Chifuyu?” Pertanyaan mengagetkan datang dari bibir cherry Chifuyu, yang membuat Baji berkedip berulang-ulang.
hah, batinnya.
“Bukan seperti itu, Chifuyu.” Ujar Baji. Chifuyu melirik Baji sebentar, sebelum akhirnya ia menundukkan kepalanya kembali.
“Lalu? Kenapa kakak tidak bersuara sedari tadi? Padahal aku ingin lebih lama mendengar suara kakak.” kalimat dibagian akhir sengaja Chifuyu kecilkan seperti berbisik, agar Baji tak dapat mendengarnya dengan jelas.
Berutung, tempat yang mereka berdua datangi ramai akan orang berbincang. Jadi, kemungkinan Bajii untuk mendengar kalimat terakhirnya sangatlah tipis.
“Hehe, aku terlalu bingung untuk memulai percakapan ini. Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang pandai mencari topik pembicaraan. Bahkan semua temanku berkata jikalau aku adalah manusia yang tak tahu caranya bersosialisasi dengan orang,
Aku mempunyai sahabat 3 orang saja sangat bersyukur.” tutur Baji. Chifuyu yang mendengarnya tersenyum, akhirnya, ia bisa mendengarkan suara Baji lebih lama.
“Tapi menurutku ngga tuh.” tukas Chifuyu. Baji memberikan Chifuyu tatapan pertanyaan.
“Maksudnya?”
“Iya, kakak itu orangnya asik kok. Masalah mencari topik, aku suka membahas topik apa saja. Jangan khawatir kehabisan pembicaraan, aku sangat senang untuk membantu kakak tak keluar dari percakapan hehehe.” Chifuyu berucap.
Hangat.
Itulah yang Baji rasakan pada sekitaran dadanya, melihat senyum semanis madu milik Chifuyu memberikan ketenangan hati dalam dirinya.
“Terima kasih.” Ujar Baji tulus. Chifuyu mengembangkan senyumnya menjadi cengir kemudian mengangguk tanda ia menjawab pernyataan terima kasih Baji.
Percakapan mereka terputus sementara karna pesanan mereka datang. Mereka menikmati waktu berdua, tanpa takut ada yang mengusik.
Rumah Chifuyu
Pukul 22.00 malam.
“Kak Baji, terima kasih atas waktunya selama 3 jam ini. Aku sangat menikmatinya.” Tutur Chifuyu. Baji mengangguk, dan mengusak surai kecoklatan dari yang muda.
“Sama-sama, sudah sana masuk. Hari semakin malam, berada diluar terlalu lama akan membuatmu masuk angin.” Baji berujar. Chifuyu mengangguk, kemudian berpamitan.
“Kalau gitu, aku izin masuk dulu ya. Selamat malam kak Baji!.” Pamit Chifuyu. Baji tak langsung menjawab, ia masih bergeming. Masih sibuk dengan segala pikirannya.
Apakah aku harus menyatakannya sekarang? Atau tidak? Tapi, kata orang tak baik menunda-nunda. Baiklah, aku akan menyatakannya sekarang, batin Baji menggebu.
“Em Chifuyu?.” Panggil Baji. Chifuyu yang tadinya ingin membuka pagar rumahnya berbalik, kemudian menjawab panggilan Baji.
“Ya? Kak?.” Tanya Shirabu.
“Errr... Baji suka sama Chifuyu.” pernyataan lantang keluar dengan lancar dari mulut Baji. Yang membuat Chifuyu terkejut, dan senang di saat bersamaan.
“Kakak... suka Chifuyu?.” Tanya Chifuyu tak percaya. Baji mengagguk dengan yakin.
“Chifuyu juga suka kakak.” ujar Chifuyu malu. Baji tak berkutik, rasanya ia ingin berteriak kegirangan karna cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
“Kamu... serius?”
Chifuyu mengangguk.
“Mamaaaa.”
“AHAHAHAHA.”
Malam itu, adalah malam yang sangat sangat berharga bagi keduanya. Siapa sangka pernyataan cinta mendadak dari Baji, membuahkan hasil yang sangat jauh dari ekspektasi awal Baji.
Pun Yogyakarta layaknya seorang kekasih, kota ini selalu mengingatkan kita bahwa ‘rumah’ tidak melulu tentang tempat, seringkali ‘rumah’ adalah tentang perasaan. Perasaan terhadap seseorang, terserah perasaan macam apa. Setiap orang mempunyai pandangan tersendiri tentang sebuah perasaan bukan?
Mereka juga, bisa menjadi 'rumah' berpulang, ketika kita lelah, membutuhkan segala yang kita butuhkan.
Remang cahaya Yogyakarta, suasananya yang santai, syahdunya perbincangan tengah malam di lesehan pinggir jalan, dan senyum ramah yang menyapa di setiap sudut jalan. Ah, Tuhan pasti sedang senang saat membuat kota Yogyakarta.
“Mungkin benar kata Joko Pinurbo, Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, angkringan dan juga Baji Keisuke.” ㅡChifuyu Matsuno.