Elegi

Letters.


Hari itu pada bulan ke-12 tepat dimana salju pertama turun, disitu juga aku kehilangan dirimu. Semenjak kepergianmu yang terlalu mendadak, aku selalu berjalan bersama dengan bayang hitam nan kasar, berjalan menyusuri kaki-kaki cakrawala sampai aku tidak tahu lagi apa tujuanku, dan apa yang harus aku cari.

Selalu ku gapai apa yang terlintas didepanku, namun selalu tak cukup bagiku. Kala sinar matahari padam, berganti dengan redupnya sinar rembulan yang terlalu lemah, namun masih sanggup untuk hanya sekedar menerangi sisi gelapnya dunia.

Ragaku selalu terjaga setiap malam, berharap angin datang membawa surat kerinduan dari alam. Tak lelah, dan tak henti-hentinya ku meminta kepada sang surya agar tidak datang terlalu cepat, karna nanti tak bisa lagi ku rasakan kehadiranmu dalam tidur malamku.

Bulan, tolong sampaikanlah rinduku yang teramat kepada manusia yang sekarang ini sedang engkau peluk dalam dekapmu. Aku selalu menanti kehadiran sosoknya dalam bentuk bayanganpun tak apa, aku selalu menanti dan akan terus menanti. Dan sebagaimana nantinya, jika hari itu akan tiba biarkanlah ia lebih lama bersama-sama denganku.

Kau sudah terlalu banyak menghabiskan waktu dengannya, rembulan. Maka dari itu, tolong sekali ini izinkan-lah ia berada disisiku dalam jangka waktu yang lama.

Lalu bulan terbenam, saatnya ucapkan selamat tinggal; Selamat tinggal angin malam dan dinginnya langit malam. Waktunya untuk memulai kehidupan, janganlah khawatir akan terang yang akan mendatang. Aku akan tetap berada disisimu, hingga bulan datang lagi menjemput.

Teruntuk yang dirindu: Kokonoi Hajime.

Dan sedari yang merindu: Seishu Inui.

Letters.


Hari itu pada bulan ke-12 tepat dimana salju pertama turun, disitu juga aku kehilangan dirimu. Semenjak kepergianmu yang terlalu mendadak, aku selalu berjalan bersama dengan bayang hitam nan kasar, berjalan menyusuri kaki-kaki cakrawala sampai aku tidak tahu lagi apa tujuanku, dan apa yang harus aku cari.

Selalu ku gapai apa yang terlintas didepanku, namun selalu tak cukup bagiku. Kala sinar matahari padam, berganti dengan redupnya sinar rembulan yang terlalu lemah, namun masih sanggup untuk hanya sekedar menerangi sisi gelapnya dunia.

Ragaku selalu terjaga setiap malam, berharap angin datang membawa surat kerinduan dari alam. Tak lelah, dan tak henti-hentinya ku meminta kepada sang surya agar tidak datang terlalu cepat, karna nanti tak bisa lagi ku rasakan kehadiranmu dalam tidur malamku.

Bulan, tolong sampaikanlah rinduku yang teramat kepada manusia yang sekarang ini sedang engkau peluk dalam dekapmu. Aku selalu menanti kehadiran sosoknya dalam bentuk bayanganpun tak apa, aku selalu menanti dan akan terus menanti. Dan sebagaimana nantinya, jika hari itu akan tiba biarkanlah ia lebih lama bersama-sama denganku.

Kau sudah terlalu banyak menghabiskan waktu dengannya, rembulan. Maka dari itu, tolong sekali ini izinkan-lah ia berada disisiku dalam jangka waktu yang lama.

Lalu bulan terbenam, saatnya ucapkan selamat tinggal; Selamat tinggal angin malam dan dinginnya langit malam. Waktunya untuk memulai kehidupan, janganlah khawatir akan terang yang akan mendatang. Aku akan tetap berada disisimu, hingga bulan datang lagi menjemput.

Teruntuk yang dirindu: Kokonoi Hajime.

Dan sedari yang merindu: Seishu Inui.

Letters.


Senandung duka cita dari diriku yang ku unjukkan kepadamu lewat secarcik kertas lusuh ini.


Halo, selamat pagi. Atau entah jam berapa sekarang disana aku tak tahu tepatnya, aku hanya mengira-ngira saja. Bagaimana kabarmu? Ku harap kau melakukan yang terbaik, aku senang kalau begitu. Sudah lama, ya kita tak bertemu sapa? Entah sudah berapa lama, aku tak bisa mendengar suara indahmu lagi. Ah... aku sangat rindu.

Disini aku melakukan semampuku, jangan Khawatir! Aku bisa melakukannya sendiri kok!!! Jangan khawatir, oke? Aku lebih baik daripada yang kamu kira.

Aku sekarang, masih suka pergi ketempat yang dahulu kau sering kunjungi. Tak berubah sama sekali loh, masih tetap sama saat terakhir kali kita datang bersama kesana. Atmosfernya malah lebih sejuk sekarang, karna sepertinya mereka menambahkan beberapa pohon tinggi untuk menghalau cahaya matahari untuk masuk.

Oh iya, Mana dan Luna sering menanyakan keberadaanmu, katanya ia rindu dan ingin sekali bertemu denganmu. Namun ku jawab, kalau kamu sedang pergi ke luar negri dan menetap permanen disana. Aku melakukannya agar dia tak lebih memaksaku mengantarkannya bertemu denganmu.

Namun aku salah, justru ia malah semakin menjadi katanya 'aku tak perduli sejauh apa Kak Taiju pergi aku ingin bertemu dengannya.' Mereka mengatakan sambil menangis jelek hahaha, andai kau bisa melihatnya sendiri. Itu sangat lucu.

Sepertinya Mana dan Luna sudah kepalang rindu denganmu, Taiju. Sama sepertiku yang setiap hari merindu dirimu, bagai punguk merindukan bulannya. Kapan ya, kira-kira kita dapat bertemu kembali?

Taiju, aku juga ingin, aku juga ingin menjadi sepertimu yang pergi tak mengharap untuk kembali.

Setiap malam ku rapalkan segala do'a agar Tuhan mau mengambil nyawaku dan mengirimkan jiwaku untuk bersemayam dengan tenang bersamamu disana, berdua.

Pernah habiskan waktuku sebentar untuk sekedar meminum obat dengan dosis yang banyak, mengharap aku bisa segera menyusulmu. Atau aku mencoba memotong urat nadiku.

Namun semua itu gagal, sepertinya Tuhan lebih memilihku untuk membiarkan diriku hidup dan terus berjalan bersama mimpiku disini. Tuhan belum mengizinkanku untuk cepat-cepat bertemu denganmu. Maafkan aku, ya?

Jikalau memang nanti sudah waktunya, aku akan dengan segera menyusulmu kesana. Apakah kamu rela untuk menungguku lebih lagi? Tanpa memandang seberapa lama lagi kita akan benar benar bertemu, bercakap dan memeluk seperti biasa? Aku harap kau bisa.

Taiju, tolong tunggu aku.

Sedari yang merindu : Mitsuya Takashi. Teruntuk yang di rindu : Taiju Shiba.


Apa ini bro?

Dua insan kota yogyakarta

An local bajifuyu au! (Remake from my old au)


Coba tanyakan pada setiap orang yang pernah tinggal di Yogyakarta selama beberapa waktu, mana kota yang paling romantis di Indonesia. Jawaban mereka pasti sama: Yogyakarta sebagai pilihan kota romantis mereka.

Begitupun dengan Chifuyu, jika dia di beri pertanyaan seputar Yogyakarta hal yang akan pertama kali terlintas di pikirannya pastilah Baji Keisuke. Karna, katanya, Baji Keisuke adalah salah satu dari sekian banyaknya fragmentasi yang di berikan oleh kota Yogyakarta kepada dirinya untuk dinikmati.

Ada sesuatu tentang Yogyakarta yang membuat Chifuyu selalu jatuh cinta dan dipenuhi nostalgia. Kota ini memang layaknya seorang kekasih yang memberikan rasa nyaman dan aman. Dan ketika mereka yang pernah mencicipi keromantisan kota Yogya harus menjejakkan kaki pergi dari kota ini, layaknya kekasih pula, Yogyakarta selalu dirindukan.

Sama seperti Chifuyu, yang selalu merindukan Baji.

Dan Baji, yang juga selalu merindukan Chifuyu.


Jl. Malioboro. Pukul 20.00 malam hari.

Baji berjalan berdampingan dengan Chifuyu, kala bibirnya kelu untuk memulai sebuah percakapan, fikirannya terlalu kosong untuk sekedar membuka pembicaraan. Padahal ia yang pertama mengajak Chifuyu pergi dengannya.

Atau ia terlalu senang karna bisa berduaan dengan sang pujaan hati, yang selalu ia damba sedari Sekolah Menengah Atas.

“Kak Baji?” Panggil Chifuyu. Baji yang sedari tadi berfikir, mengalihkan atensinya kepada Chifuyu yang kini tengah berdiri didepannya.

“Hm? Ada apa, Fuyu?” Tanyanya. Chifuyu menggeleng, lantas menimbulkan seribu pertanyaan melintas dalam kepala Bajii.

“Gapapa, aku lihat wajah kakak kurang bersemangat. Kakak sedang sakit?” Tanya Chifuyu lagi. Baji menggeleng, dan memberikan Chifuyu senyum terbaik yang dia miliki.

“Aku gapapa, mungkin karna dingin? Yogyakarta sedang dingin akhir-akhir ini.” Baji berujar. Chifuyu mendelik, memberikan tatapan penuh selidik kearah Baji yang dihadiahi tatapan tanya dari orang yang ia beri sanksi mata. Yang kemudian dibalas delikan acuh dari Chifuyu.

Lalu mereka tak bersua lagi, kembali berjalan membelah kerumunan orang di Jalan Malioboro ini. Mereka berkeliling sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi kesebuah angkringan yang cukup jauh dari hiruk pikuk manusia.

Mengambil tempat berhadapan, Baji dapat leluasa melihat setiap lekuk indah wajah Chifuyu tanpa takut sang empunya memergokinya. Keheningan terasa kembali, meski angkringan ini menyetel lagu sepertinya mereka lebih suka sunyi untuk satu sama lain.

Tak ada yang ingin memulai percakapan, terlalu malu.

“Kak Baji tidak suka pergi bersama Chifuyu?” Pertanyaan mengagetkan datang dari bibir cherry Chifuyu, yang membuat Baji berkedip berulang-ulang.

hah, batinnya.

“Bukan seperti itu, Chifuyu.” Ujar Baji. Chifuyu melirik Baji sebentar, sebelum akhirnya ia menundukkan kepalanya kembali.

“Lalu? Kenapa kakak tidak bersuara sedari tadi? Padahal aku ingin lebih lama mendengar suara kakak.” kalimat dibagian akhir sengaja Chifuyu kecilkan seperti berbisik, agar Baji tak dapat mendengarnya dengan jelas.

Berutung, tempat yang mereka berdua datangi ramai akan orang berbincang. Jadi, kemungkinan Bajii untuk mendengar kalimat terakhirnya sangatlah tipis.

“Hehe, aku terlalu bingung untuk memulai percakapan ini. Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang pandai mencari topik pembicaraan. Bahkan semua temanku berkata jikalau aku adalah manusia yang tak tahu caranya bersosialisasi dengan orang,

Aku mempunyai sahabat 3 orang saja sangat bersyukur.” tutur Baji. Chifuyu yang mendengarnya tersenyum, akhirnya, ia bisa mendengarkan suara Baji lebih lama.

“Tapi menurutku ngga tuh.” tukas Chifuyu. Baji memberikan Chifuyu tatapan pertanyaan.

“Maksudnya?”

“Iya, kakak itu orangnya asik kok. Masalah mencari topik, aku suka membahas topik apa saja. Jangan khawatir kehabisan pembicaraan, aku sangat senang untuk membantu kakak tak keluar dari percakapan hehehe.” Chifuyu berucap.

Hangat.

Itulah yang Baji rasakan pada sekitaran dadanya, melihat senyum semanis madu milik Chifuyu memberikan ketenangan hati dalam dirinya.

“Terima kasih.” Ujar Baji tulus. Chifuyu mengembangkan senyumnya menjadi cengir kemudian mengangguk tanda ia menjawab pernyataan terima kasih Baji.

Percakapan mereka terputus sementara karna pesanan mereka datang. Mereka menikmati waktu berdua, tanpa takut ada yang mengusik.


Rumah Chifuyu Pukul 22.00 malam.

“Kak Baji, terima kasih atas waktunya selama 3 jam ini. Aku sangat menikmatinya.” Tutur Chifuyu. Baji mengangguk, dan mengusak surai kecoklatan dari yang muda.

“Sama-sama, sudah sana masuk. Hari semakin malam, berada diluar terlalu lama akan membuatmu masuk angin.” Baji berujar. Chifuyu mengangguk, kemudian berpamitan.

“Kalau gitu, aku izin masuk dulu ya. Selamat malam kak Baji!.” Pamit Chifuyu. Baji tak langsung menjawab, ia masih bergeming. Masih sibuk dengan segala pikirannya.

Apakah aku harus menyatakannya sekarang? Atau tidak? Tapi, kata orang tak baik menunda-nunda. Baiklah, aku akan menyatakannya sekarang, batin Baji menggebu.

“Em Chifuyu?.” Panggil Baji. Chifuyu yang tadinya ingin membuka pagar rumahnya berbalik, kemudian menjawab panggilan Baji.

“Ya? Kak?.” Tanya Shirabu.

“Errr... Baji suka sama Chifuyu.” pernyataan lantang keluar dengan lancar dari mulut Baji. Yang membuat Chifuyu terkejut, dan senang di saat bersamaan.

“Kakak... suka Chifuyu?.” Tanya Chifuyu tak percaya. Baji mengagguk dengan yakin.

“Chifuyu juga suka kakak.” ujar Chifuyu malu. Baji tak berkutik, rasanya ia ingin berteriak kegirangan karna cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

“Kamu... serius?”

Chifuyu mengangguk.

“Mamaaaa.”

“AHAHAHAHA.”

Malam itu, adalah malam yang sangat sangat berharga bagi keduanya. Siapa sangka pernyataan cinta mendadak dari Baji, membuahkan hasil yang sangat jauh dari ekspektasi awal Baji.


Pun Yogyakarta layaknya seorang kekasih, kota ini selalu mengingatkan kita bahwa ‘rumah’ tidak melulu tentang tempat, seringkali ‘rumah’ adalah tentang perasaan. Perasaan terhadap seseorang, terserah perasaan macam apa. Setiap orang mempunyai pandangan tersendiri tentang sebuah perasaan bukan?

Mereka juga, bisa menjadi 'rumah' berpulang, ketika kita lelah, membutuhkan segala yang kita butuhkan.

Remang cahaya Yogyakarta, suasananya yang santai, syahdunya perbincangan tengah malam di lesehan pinggir jalan, dan senyum ramah yang menyapa di setiap sudut jalan. Ah, Tuhan pasti sedang senang saat membuat kota Yogyakarta.

“Mungkin benar kata Joko Pinurbo, Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, angkringan dan juga Baji Keisuke.” ㅡChifuyu Matsuno.

Elegi. Zhongchi.


Senandung duka cita dari diriku yang ku unjukkan kepadamu lewat secarcik kertas lusuh ini.


Halo, selamat pagi. Atau entah jam berapa sekarang disana aku tak tahu tepatnya, aku hanya mengira-ngira saja. Bagaimana kabarmu? Ku harap kau melakukan yang terbaik, aku senang kalau begitu. Sudah lama, ya kita tak bertemu sapa? Entah sudah berapa lama, aku tak bisa mendengar suara indahmu lagi. Ah... aku sangat rindu.

Disini aku melakukan semampuku, jangan Khawatir! Aku bisa melakukannya sendiri kok!!! Jangan khawatir, oke? Aku lebih baik daripada yang kamu kira.

Aku sekarang, masih suka pergi ketempat yang dahulu kau sering kunjungi. Tak berubah sama sekali loh, masih tetap sama saat terakhir kali kita datang bersama kesana. Atmosfernya malah lebih sejuk sekarang, karna sepertinya mereka menambahkan beberapa pohon tinggi untuk menghalau cahaya matahari untuk masuk.

Oh iya, Teucer sering menanyakan keberadaanmu, katanya ia rindu dan ingin sekali bertemu denganmu. Namun ku jawab, kalau kamu sedang pergi ke luar negri dan menetap permanen disana. Aku melakukannya agar dia tak lebih memaksaku mengantarkannya bertemu denganmu.

Namun aku salah, justru ia malah semakin menjadi katanya 'aku tak perduli sejauh apa Xiansheng pergi aku ingin bertemu dengannya.' Dia mengatakan sambil menangis jelek hahaha, andai kau bisa melihatnya sendiri. Itu sangat lucu.

Sepertinya Teucer sudah kepalang rindu denganmu, Xiansheng. Sama sepertiku yang setiap hari merindu dirimu, bagai punguk merindukan bulannya. Kapan ya, kira-kira kita dapat bertemu kembali?

Xiansheng, aku juga ingin, aku juga ingin menjadi sepertimu yang pergi tak mengharap untuk kembali.

Setiap malam ku rapalkan segala do'a agar Tuhan mau mengambil nyawaku dan mengirimkan jiwaku untuk bersemayam dengan tenang bersamamu disana, berdua.

Ku habiskan waktuku sebentar untuk sekedar meminum obat dengan dosis yang banyak, mengharap aku bisa segera menyusulmu. Atau aku mencoba memotong urat nadiku yang berada di pergelanganku.

Namun semua itu gagal, sepertinya Tuhan lebih memilihku untuk membiarkanku hidup dan terus berjalan bersama mimpiku disini. Tuhan belum mengizinkanku untuk cepat-cepat bertemu denganmu. Maafkan aku, ya?

Jikalau memang nanti sudah waktunya, aku akan dengan segera menyusulmu kesana. Apakah kamu rela untuk menungguku lebih lagi? Tanpa memandang seberapa lama lagi kita akan benar benar bertemu, bercakap dan memeluk seperti biasa? Aku harap kau bisa.

Xiansheng, tolong tunggu aku.

Sedari yang merindu : Childe. Teruntuk yang di rindu : Zhongli.

Si Lemah.

Ottoge / YuuToge au.


Jangan benci dirimu, pagi yang berat kasur yang erat. Menahan dirimu bersinar, berguna di mata dunia.


sayang, aku di depan.

Toge yang melihat notifikasi dari Yuuta, bergegas menuju pintu depan dengan tak sabar. Begitu pintu terbuka, si surai perak mendekap si surai gelap dengan erat, seakan tak ada hari esok yang tersisa.

Yuuta tersenyum, membalas pelukan dari sang terkasih, memberikan semangat tak tersirat dari sentuhan yang ia beri lewat tepukan menenangkan pada punggung si pemuda yang lebih mungil.

Tak ada yang bersuara. Masih berdiri di ambang pintu, keduanya terjebak dalam kesunyian yang nyaman hingga tak ada satu pun yang ingin pindah ke dalam.

Hingga...

“Toge, masuk dulu, yuk? Kita lanjut pelukannya di dalam aja.” Yuuta berujar lembut. Toge yang mendengar itu, mengangguk singkat. mengendurkan pelukannya pada Yuuta, kemudian mempersilahkan sang kekasih untuk masuk.

Setibanya di ruang tamu, keduanya kembali berdiam diri. Menunggu salah satu dari mereka memulai cakap. Hingga akhirnya Yuuta menangkap kode yang diberikan oleh Toge.

“Sini, kita lanjut lagi pelukannya.” Yuuta menepuk-nepuk space kosong disebelahnya. Toge mengangguk singkat, mendekat kemudian mendekap Yuuta lebih erat dari sebelumnya.

Lagi, Yuuta hanya bisa tersenyum maklum atas perilaku Toge. Ia tak perotes hanya mengikuti segala yang diinginkan oleh sang kekasih. Hingga beberapa saat berlalu, Yuuta merasakan bahu sebelah kirinya basah, dan diikuti dengan isak tangis tertahan yang samar memasuki pendengarannya.

“Toge, kalau mau nangis ayo nangis aja. Jangan ditahan, keluarin semua yang selama ini kamu tahan, keluarin semua beban yang kamu pikul selama ini tanpa aku tahu.

Kamu bukan orang yang lemah, kamu adalah orang terkuat yang pernah aku temui, kamu nggak pernah peduli akan opini orang, kamu selalu percaya kepada dirimu sendiri.

Tapi entah kenapa kamu hari ini, overthink lagi, padahal kamu udah ga seperti itu sejak sebulan yang lalu.” Yuuta menjeda kalimatnya. Hanya sekadar ingin mengusap punggung Toge yang kini mulai menangis lebih keras dibandingkan sebelumnya.

“Ngak papa kalau kamu merasa lemah sesekali. Karna setiap manusia punya titik kelemahannya masing-masing. Jangan selalu kau tutupi lemahmu. Kamu tau, ngga? Kamu itu sebenernya harus buat semesta itu menerima dirimu apa adanya.”

Yuuta tersenyum, melepaskan pelukannya kemudian menangkup wajah bundar sang terkasih, “Kalau mereka nggak mau, ya sudah relakan saja. Masih banyak senyum di dunia ini yang mau menerima kurangmu, seperti aku, Maki, Panda, Megumi, Nobara, dan Yuuji.

Ingat, Toge, semua orang berbeda. Contoh, kamu berbeda dari Rika dan begitu juga sebaliknya. Oke? Jangan benci dirimu karna hal itu.” Tungkas Yuuta. Toge semakin menangis, mengangguk kemudian memeluk prianya lagi.

Toge sekarang merasa sangat bersyukur karna ia mempunyai Yuuta sebagai kekasihnya, rumahnya untuk berpulang. Lelaki gagah nan manis akan segala ucap dan perilakunya.

Yuuta dengan senang hati menerima dirinya yang terlampau kurang, sedangkan Yuuta terlampau cukup. Bahkan sempurna.

“Hiks, Yuuta makasih banyak, huhu.” Toge semakin mengeratkan pelukannya pada Yuuta. Membuat yang dipeluk hanya mengangguk seraya berucap “sama-sama”.

“Udahan nangisnya, yuk? kasian nanti matanya sakit kebanyakan nangis.” Yuuta mengusap-usap pelupuk mata Toge.

'bengkaknya.' batinnya.

“Jangan diliatin, huhu. Malu pasti lagi berantakan banget sekarang,” rengek Toge. Yang dibalas Yuuta dengan gelengan kepala pertanda tak benar.

“Ngga tau, haha,” Yuuta tertawa sebelum melanjutkan, “Sehabis ini kamu jangan overthink lagi kaya tadi, ya? Ngga baik, sayang.”

Toge mengangguk dengan bersemangat. Tak lupa mengucapkan 'terima kasih' berulang kali pada sang terkasih.

“Terima kasih, Yuuta.”

“Sama-sama, Toge.”


END.

Si Lemah.

Ottoge / YuuToge au.


Jangan benci dirimu, pagi yang berat kasur yang erat. Menahan dirimu bersinar, berguna di mata dunia.


sayang, aku di depan.

Toge yang melihat notifikasi dari Yuuta, segera bergegas berlari menuju pintu depan. Membukanya dengan tak sabar, si surai perak mendekap si surai gelam dengan erat, seakan tak ada hari esok untuk ia sisakan.

Yuuta tersenyum, membalas pelukan dari sang kasih, memberikan semangat tak tersirat dari sentuhan yang ia beri lewat tepukan menenangkan pada punggungnya.

Mereka tak ada yang bersuara, mereka terjebak dalam kesunyian yang nyaman. Masih berdiri di ambang pintu, tak ada satu dari mereka yang ingin bergerak; berpindah kedalam.

Hingga...

“Toge, yuk masuk dulu? Kita lanjut peluknya didalam aja.” Yuuta berujar lembut. Toge yang mendengarnya mengangguk singkat, mengendurkan pelukannya dari Yuuta kemudian mempersilahkan Yuuta masuk.

Di dalam mereka sama-sama diam, menunggu salah satu dari mereka memulai cakap, namun kode dari Toge membuat Yuuta cukup paham akan maksud si surai perak tersebut.

“Sini, kita lanjut lagi pelukannya.” Yuuta menepuk-nepuk space kosong disebelahnya. Toge mengangguk singkat, mendekat kemudian mendekap Yuuta lebih erat dari sebelumnya.

Lagi, Yuuta hanya bisa tersenyum maklum atas perilaku Toge, ia tak perotes hanya mengikuti saja apa yang Toge inginkan. Beberapa saat, Yuuta mulai merasakan bahu sebelah kirinya basah, dan samar mendengar isak tangis tertahan.

“Toge, kalau mau nangis ayo nangis aja. Jangan ditahan, keluarin semua yang selama ini kamu tahan, keluarin semua beban yang kamu pikul selama ini tanpa aku tahu,

Kamu bukan orang yang lemah, kamu adalah orang terkuat yang pernah aku temui, kamu nggak pernah perduli akan opini orang, kamu selalu percaya kepada dirimu sendiri.

Tapi entah kenapa kamu hari ini, overthink lagi, padahal kamu udh ga seperti itu sejak 1 bulan yang lalu.” Yuuta menjeda kalimatnya, sekedar hanya ingin mengusap punggung Toge, yang kini mulai menangis lebih keras dibandingkan yang tadi,

“gapapa kalau kamu merasa lemah sesekali, karna setiap manusia punya titik kelemahannya masing-masing, jangan selalu kau tutupi lemahmu. Kamu tau ngga? Kamu itu sebenernya harus buat semesta itu menerima dirimu yang apa adanya,”

Yuuta tersenyum, melepaskan pelukannya kemudian menangkup wajah bundar sang terkasih,

“Kalau mereka nggak mau, ya sudah relakan saja. Masih banyak senyum di dunia ini yang mau menerima kurangmu, seperti aku, Maki, Panda, Megumi, Nobara, dan Yuuji.

Ingat, Toge semua mempunyai perbedaan masing-masing. Contoh, kamu berbeda dari Rika dan Rika juga berbeda dari kamu. Oke? Jangan benci dirimu karna hal itu.” Tungkas Yuuta. Toge semakin menangis, mengangguk kemudian memeluk prianya lagi.

Toge sekarang merasa sangat bersyukur karna ia mempunyai Yuuta sebagai kekasihnya, rumahnya untuk berpulang. Lelaki gagah nan manis akan segala ucap dan perilakunya.

Yuuta dengan senang hati menerima dirinya yang terlampau kurang, sedangkan Yuuta terlampau cukup. Bahkan sempurna.

“Hiks,

Delusional.

SakuAtsu Au.


Saat ku terbangun dipagi hari, selalu bayanganmu yang terlintas dalam benakku. Selalu menahan tangis dan selalu gagal untuk kesekian kalinya.

Rasanya sangat sakit saat bayang wajahmu selalu muncul di otakku tanpa pernah meminta izin, padahal bukan aku yang meminta.

Kau sendiri yang menghapus jarak diantara kita berdua, namun kenapa harus aku yang menahan bebannya? Tak maukah engkau?

Pertanyaan demi pertanyaan kulemparkan pada diriku sendiri, mengapa aku bisa terlalu bersemangat menyambutmu hadir dengan membentangkan tangan selebar samudra; ketika engkau akhirnya pergi meninggalkan luka?

Ku coba untuk hentikan sang waktu hanya demi lebih lama denganmu, namun aku selalu gagal; tolong ajarkan aku ikhlas untuk merelakan kepergiannya dirimu.


Monokrom.

LangaReki Au!


Kita renggang bagai tali tambang yang terus ditarik kuat dan kemudian akan terputus dengan sendirinya.


Aku selalu menunggu waktu yang tepat untuk berbincang dengan dirimu, namun kau selalu menjauh dengan alasan yang tak selalu masuk akal. Aku selalu menunggu demi berjumpa denganmu.

Aku selalu bertanya-tanya, apakah aku pernah membuat mu marah? atau apakah aku pernah membuat kesalahan yang tak kusadari sehingga membuat mu tersinggung?

kau selalu menghindari ku saat kita tak sengaja bertemu sapa, wajah dengan wajah. Ingin ku tahan tanganmu namun.. rasanya sia-sia, ya?


“Langa?” Dengan berani ku sebut namamu. Tak gentar meski kau megabaikanku, aku terus mencoba meski kau enggan untuk menenggok.

“Bisa kita bicara sebentar?” Menunggu jawab dengan harap-harap cemas, takut kau menolak.

“ya.” namun, jawabanmu membuatku terkejut.

akhirnya kami berjalan, seiringan kembali untuk pertama kalinya. aku sangat senang, aku bisa bersebelahan denganmu setelah sekian lama kita tak bersua.

aku membawanya ke Rooftop sekolah, tempat dimana diriku dan Langa untuk pertama kalinya bertemu. ah, aku sedikit bernostalgia menginggat hari-hariku yang indah bersama Langa.

“Kau ingin membicarakan apa?”

rupanya ia tak suka untuk berbasa basi untuk sekarang, padahal aku ingin lebih lama berbincang dengan mu.

“eum..”

bisa kulihat ia menaikkan sebelah alisnya, menandakan wajah yang... kesal.. mungkin??

“Jika tak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku duluan.” Ujar Langa. saat Dirinya ingin beranjak, dengan cepat ku raih pergelangan tangannya.

“T-tunggu sebentar.” aku menjeda kalimatku, mempersiapkan hatiku untuk mengutarakan hal yang selama ini menganggu fikiranku, “Kau mengapa akhir-akhir ini selalu mengabaikanku? apakah aku pernah membuatmu tersinggung dengan perkataan ku? apakah aku pernah membuatmu merasa tidak nyaman dengan perbuatanku?”

Bisa kurasakan mataku mulai berair,

Antara Pagi dan Kau.

NanaGojo Au!


Jika ada hal yang harus aku pilih, selalu hidup dalam bayang masa lalu atau berfokus kepada bayang masa depan; maka dengan senang hati diriku akan menjawabnya dengan pilihan opsi yang kedua.

Bukan, bukan karna bayang masa lalu itu buruk. Namun, kita tidak boleh terus terpaku dalam lingkaran yang sama bukan? Sesekali kita harus berani mengambil langkah besar dalam hidup ini.

Keluar dari zona nyaman yang sudah kita bentuk dengan sedemikian rupa, dan menghadapi kenyataan yang sesungguhnya.

Sama sepertiku yang harus memilih antara Pagi atau Kau, Nanami.


Kau sudah memutuskan akan bagaimana?” Tanya Nanami. Gojo bungkam, tak menjawab, bibirnya kelu bagai di jahit dengan rapat.

Lama tak terbalas, Nanami hanya bisa tersenyum sendu.

“Tak apa, kau tak perlu menjawab secepatnya. Kau masih punya banyak waktu, nanti, esok, ataupun lusa.” Nanami menjeda kalimatnya sebelum ranum tipis itu mengutarakan kata kembali, “aku tak terburu, pikirkan matang-matang. Aku tak memaksa juga, kau tak perlu merasa tertekan.”

Hening melanda kedua insan itu, deting jarum jam dan suara deru air hujan di luar yang menemani mereka berdua. Tak ada yang ingin berbicara barang sebentar saja.

Namun tak berselang lama, Gojo membunuh hening yang sedari tadi menemani mereka berdua.

“Entah, aku bingung. Aku ingin kau selalu ada di sini, namun aku juga tak ingin kau ada bersamaku; aku harus apa.” Ujar Gojo.

“Kau terlalu sering meninggalkanku sendiri, membiarkanku tertatih atas luka yang kau beri; terlalu perih untuk 'ku jalani sendiri.”

Pernyataan dari Gojo benar adanya, Nanami tersenyum kecut mendengarnya.

“Ya, aku memang brengsek. Sampai rasanya, diriku tak bisa menerimamu yang terlalu sempurna ini.” Nanami membawa tangan Gojo kedalam genggamannya, mengelusnya perlahan, sangat pelan.

“Sepertinya, kau sudah mempunyai jawabannya bukan?” Nanami mengucapkannya dengan suara kecil. Namun masih dapat didengar oleh telinga Gojo.

“Ya, sepertinya aku punya jawabanku sendiri. Maaf dan terima kasih.”


Aku mencintaimu sederas hujan, dan kau lebih memilih berteduh untuk menghindarinya.