Elegi

Kau sempurna, dapat menjelajah dunia yang besar ini dengan kaki kecilmu yang menggiring tubuhmu kesana dan kemari.

Bahumu tegak, meski badai, angin topan, dan hujaman hujan yang keras berlari keras jatuh diatas tubuhmu. Kau sama sekali tak tergoyahkan.

Hatimu keras, sekeras batu karang yang setiap hari dihantam oleh derasnya aliran ombak yang berada dilautan, dan siap untuk melindungi serta menjadi tempat persinggahan untuk mereka; yang ingin pulang.

Kau telah banyak melewati kesusahan dalam hidupmu, namun kau tetap tegar tak bergeming. Meski sering kali 'ku lihat dirimu menghapus jejak air mata itu demi terlihat sangat kuat, aku tau bahwa sebenarnya kau adalah manusia biasa; sama seperti kita semua.

Sempat 'ku fikirkan dalam benakku, apakah kau benar-benar baik-baik saja; atau kah hanya bermain delusi akal?

Syair kepedihan sering kudengar lewat lantunan suaramu yang sering keluar dari bibir indahmu, mengisahkan kesakitan dari dalam hatimu; yang sama sekali tak pernah kau utarakan secara langsung.

Terimakasih telah mau berjuang, meski hanya sebentar.

Dialog 1; Dia yang patah dan bertumbuh dari luka.


Kau sempurna, dapat menjelajah dunia yang besar ini dengan kaki kecilmu yang menggiring tubuhmu kesana dan kemari.

Bahumu tegak, tak jatuh meski badai, angin topan, dan hujaman hujan yang keras berjatuhan diatas tubuhmu. Kau sama sekali tak tergoyahkan.

Hatimu keras, sekeras batu karang yang setiap hari dihantam oleh derasnya aliran ombak yang berada di lautan, dan siap untuk melindungi serta menjadi tempat persinggahan untuk mereka yang ingin pulang.

Kau telah banyak melewati kesusahan dalam hidupmu, namun kau tetap tegar tak bergeming. Meski sering kali 'ku lihat dirimu menghapus jejak air mata itu demi terlihat sangat kuat, aku tau bahwa sebenarnya kau adalah manusia biasa; sama seperti kita semua.

Sempat 'ku fikirkan dalam benakku, apakah kau benar-benar baik-baik saja atau kah hanya bermain delusi akal?

Syair kepedihan sering kudengar lewat lantunan suaramu yang sering keluar dari bibir indahmu, mengisahkan kesakitan dari dalam hatimu; yang sama sekali tak pernah kau utarakan secara langsung.

Hingga akhirnya kau sendiri tak bisa lagi menahan rasa sakit yang terus dikhianati oleh kehidupan yang sudah lama kau jalani, kau lebih memilih pergi tanpa ada kata perpisahan terakhir kalinya, untuk ku dengar.

Terimakasih Arataki Itto yang telah mau berjuang, meski hanya sebentar.

Tuhan sebut sia-sia

Note : narasi tanpa dialog.


Maki Zen'in, Wanita baik nan sopan, apik rupa wajahmu jikalau sedang bertegur sapa dengan sang bintang.

Tabah hatimu, tak pernah sekalipun engkau marah ataupun habis kesabaranmu. Selalu dewasa menyikapi segala sesuatu, membuatku merasa cendala.

Selaluku pinta dalam doaku, agar dirimu menjadi satu-satunya asa yang ada dalam hidupku.

Selama ini 'ku tenggelam terlalu dalam dalam asmaraloka yang telah aku buat untuk diriku sendiri, tanpa memperdulikan siapa, dan apa yang akan menimpa esok atau entah kapan.

Selalu memuja sedari jauh, tanpa pernah mau memujamu sedari dekat. Bodoh ya aku.

Sampai-sampai, Tuhan-pun menyebutku sia-sia.

Untuk apa engkau selalu memujanya sedari jauh, tanpa mau menjadikan dirinya satu-satunya manusia dihidupmu.

Perjuangan-mu selama ini sia-sia, asa dan kidung cintamu tak terbalas karna ketakutanmu sendiri.


Kini hanya ada kata perpisahan yang sudah ku persiapkan sedari jauh-jauh hari, biarkanlah ini kutulis dalam coretan tinta hitam dan kertas lusuh yang sangat ku suka.

Selamat tinggal cintaku, selamat jalan separuh hati yang tak pernah ku gapai. Terimakasih karna telah mau menerima kehadiranku disekitarmu untuk beberapa tahun.

Diriku pamit semoga kau selalu bahagia selalu, bentalaku.

Dari : sang lengkara.

Melukis Senja.

Note : narasi tanpa dialog.


Diriku sering kali lelah dengan dunia yang semakin lama, semakin sangat susah untuk hati kecilku terima. Selama ini aku selalu berjalan sendiri, membawa tungkaiku berjalan tak tentu akan kemana ia membawaku.

Tak pernah sekali terlintas dalam benakku untuk berbahagia, selalu kutanya pada diri ini, apa itu arti bahagia yang sesungguhnya?

Namun kau datang, dengan senyum sehangat mentari. Kau mengulurkan tanganmu yang hangat itu, dan dengan semangat ku sambut uluran tanganmu dengan senang hati.

Kau menggenggam erat tanganku seperti enggan melepaskannya. Tertawa akan sikapmu yang lucu itu, kau seperti anak anjing yang tak ingin kehilangan majikannya.

Namun, aku tak pernah marah, aku suka. Suka akan protectivenya dirimu, aku suka bagaimana engkau menyuntikkan kata-kata penyemangat yang belum tentu pernah ku dengar dari diriku sendiri.

Dengan seluruh kewarasan yang diriku miliki, aku memelukmu dengan erat, membawamu kedalam pelukan hangat yang sewaktu-waktu mungkin akan engkau lupa.

Saat ku berbicara seperti itu, ia tertawa remeh. Ia bilang bahwa diriku lah yang mungkin akan melupakannya, bohong.

Hati kecilku selalu berdoa semoga kebahagiaan yang kudapat sekarang, jangan cepat berlalu.

Terimakasih Okkotsu Yuuta, karna dirimu aku tau bagaimana rasanya mencintai dan dicintai.

Terimakasih karna engkau telah membawa perasaan asing yang belum pernah kurasakan sebelumnya, terimakasih karna kau tak segan masuk kedalam kehidupanku, tak perduli dengan statusmu yang notabene adalah orang asing dalam dunia ku.

Terimakasih karna engkau selalu membawaku untuk melukis senja, melihat bagaimana dirimu mengukir namaku disana dan dengan sigap mendengarku bercerita, menangis, dan tertawa.

Kau dan aku telah berjuang dengan sangat keras, menaklukkan hari-hari kita yang tak indah, walau letih, cobalah lagi, jangan menyerah. Diriku selalu ada untukmu, begitupun juga dengan dirimu selalu ada untukku, membasuh lelah yang tiada henti.

Mari kita terus coba lagi, hingga akhirnya kita dapat menemukan bahagia yang selama ini kita cari.

Tiga Pagi

“Yuuji, ayo kita pindah ke dalam saja. Di sini anginnya sudah mulai mendingin.” Megumi berujar. Yuuji melihat ke arah Megumi dengan senyuman pasi.

“Biarkan sedikit lagi aku menikmati semilir angin ini, Gumi. Saat aku mati nanti, aku tak dapat merasakan lagi angin malam yang membelai halus kulitku.” Yuuji mengatakannya dengan lemah. Bak seorang bayi yang baru saja keluar dari rahim sang ibu.

Megumi mengangguk, meski ada rasa khawatir di dalam hatinya. Ia ingin sekali melihat tarikan simpul di bibir sang kekasih hati.

“Baiklah, aku beri 15 menit lagi. Apakah itu cukup?” Tanya Megumi. Yuuji segera mengangguk dengan senyum merekah menghiasi wajah indahnya, yang membuat Megumi mau tak mau menarik senyumannya.

15 menit berlalu

“Yuuji? Apakau sudahㅡ”

Perkataan Megumi terhenti, tatkala netranya melihat Yuuji tengah tertidur lelap di kursi rodanya dengan jaket tebal milik Megumi tersampir pada bahunya yang sempit.

Sedari tadi, Megumi meninggalkan Yuuji di taman karena dokter yang menangani Yuuji memanggilnya ke dalam rumah sakit. Dan ia baru hadir 15 menit kemudian.

Perlahan, Megumi mendekati Yuuji. Menggerakkan bahu Yuuji sedikit kencang, berharap sang kekasih hatinya bangun.

Namun, nihil yang didapat oleh Megumi.

Yuuji sang kekasih hatinya, telah pergi bersamaan dengan angin malam yang menghantarnya pulang menemui sang Pencipta.

Pukul tiga pagi itu, kedukaan hati Megumi bersua menangis atas kepergian sang kekasih hati.

mungkin pilu musti meranggas. Biar terlihat sakitnya oleh mata-mata dan tubuh yang takut akan mati. mungkin luka musti menganga biar terlihat sakitnya oleh angin malam yang suka mencumbui kaki gunung.

Mimpi.

Pair: JongSang Tag: Angst, fluff.


Kata orang, mimpi itu adalah cerminan dari hari esok, namun, seolah tak percaya ada sebagian orang yang tak menganggap itu hanyalah bualan semata. Mimpi ya mimpi, tak lebih.

Sama seperti halnya Jongho, yang juga tak pernah mau mempercayai apa yang ia mimpikan.


Rumah Yeosang. Pukul 00.00 pagi.

Riiingggg, riiinggggg

Yeosang yang tengah mengetik proposal kegiatan dengan tenang, harus dikagetkan dengan bunyi telfon masuk dari Handphonenya, segera ia mengangkat setelah tahu siapa yang menelfonnya, di tengah malam seperti ini.

Panggilan tersambung, Yeosang bisa mendengar isakan halus dari si penelfon.

“Hmm, Jongho? Kamu kenapa?.” Tanya Yeosang.

“Hiks, Kakak, bisa datang kerumah tidak? Hiks. Aku takut huhu.” Isakan Jongho semakin kuat, Yeosang tak tega dibuatnya.

“Kamu kenapa sayang? Coba jelasin dulu? Kok sampai bisa nangis?.” Tanya Yeosang lagi.

“Hueee aku mimpi kakak meninggal masa, gaenak banget mimpinya huhu.” Terdengar rengekan sebal dari si manis, Yeosang hanya tertawa renyah sambil membisikkan kata-kata penenang untuk si penelfon.

“Hahaha, udah ih jangan nangis. Maaf kakak ga bisa datang kesana, proposal kakak baru sebagian selesai. Tertenggat esok sudah harus dikumpulkan, kakak temani sedari telfon saja tidak apa-apa kan?” Yeosang memastikan. Ia takut jika Yeosang tak bisa datang, Jongho ngambek padanya.

“Hiks, iya gapapa, aku ngerti kok. Tapi kakak temani Yeosang aja ya sampe bobok, takut hehe.” Ujar Jongho dari sebrang telfon. Yeosang ikut tersenyum mendengarnya, Yeosang sangat senang, Jongho pengertian terhadap dirinya. Ia tak terlalu menuntut Yeosang untuk ini dan itu.

“Kamu tau gasih, arti mimpi kamu itu apa?.” Pertanyaan Yeosang membuat Jongho berfikir, Selang sedetik ia dengan segera membalas pertanyaan dari Yeosang.

_“Nggak tuh, artinya apa kak? Kalo artinya jelek aku ngga mau denger.” Jongho membuat wajah seperti anak kecil yang sedang merajuk pada ibunya, itu sangat lucu dimata Yeosang.

Ah aku lupa memberi tahu, Mereka sudah mengganti panggilan telfon dengan video call.

“HAAHAHA nggak kok sayang, ini artinya bagus! Artinya kakak bakalan panjang umur, loh.” Jelas Yeosang. Yeosang melihat binar mata Jongho saat ia menjelaskan apa arti dari mimpinya itu.

“Eh serius kak? WOAH, SENENG BANGET.”

“Heh jangan teriak-teriak sudah malam nanti kamu dimarahi tetangga.”

“Ngga bakal sih bwek.” Percakapan keduanya berlanjut sampai jam 1 dini hari, Jongho telah pulas tergeletak dibantalnya dan Yeosang yang masih mengetik proposal yang hampir jadi itu.

Sengaja keduanya tak memutuskan panggilan, katanya jikalau mimpi buruk lagi bisa langsung berbicara tanpa harus menunggu panggilan diangkat.

Yeosang tersenyum gemas melihat wajah sang kekasih yang tertidur pulas, pipi merah dan bibir peach itu sangat menggoda sekali untuk dirinya cium. Lalu Yeosang cepat-cepat membuang fikiran itu, kemudian tertawa renyah sambil melanjutkan mengetik proposalnya.


??? Pukul 09.00 pagi.

Hari ini, bukan saja keluarga Yeosang dan Jongho yang menyuarakan duka cita, Awan gelap yang menghiasi sang cakrawala, juga seperti mengatakan duka cita yang teramat sangat.

Ya, mimpi Jongho kala itu menjadi kenyataan.

Yeosang kini telah pergi, bersama dengan angin malam. Melayang jauh, tak tentu arah. Jongho sangat marah pada dirinya sendiri, mengapa ia harus memimpikan mimpi konyol itu?

Katanya, arti mimpi yang dimimpikan Jongho itu membuat orang terkasihnya panjang umur, namun coba lihat, Kekasihnya kini telah pergi, ia pergi hanya karna mimpi bodoh itu.

Memang seharusnya ia tak percaya dengan bualan-bualan manusia dengan fantasi tinggi yang membuat orang lain menderita, hatinya berkedut sakit.

“Kakak, katanya, arti dari mimpiku itu baik, tapi kenapa malah menjadi seperti ini, apakah kakak mengatakan itu hanya untuk membuatku tenang dan senang? Tidak kak.”

End

Gaje banget soalnya aku udh mentok hehe:b

Dua insan kota Yogya

Pairs: SemiShira (Semi Eita x Shirabu Kenjiro) Tags: Fluff, Local! Au.


Coba tanyakan pada setiap orang yang pernah tinggal di Yogyakarta selama beberapa waktu, mana kota yang paling romantis di Indonesia. Jawaban mereka pasti sama: Yogyakarta sebagai pilihan kota romantis mereka.

Begitupun dengan Shirabu, jika dia di beri pertanyaan seputar Yogyakarta hal yang akan pertama kali terlintas di pikirannya pastilah Semi Eita. Karna, katanya, Semi Eita adalah salah satu dari sekian banyaknya fragmentasi yang di berikan oleh kota Yogyakarta kepada dirinya untuk dinikmati.

Ada sesuatu tentang Yogyakarta yang membuat Shirabu selalu jatuh cinta dan dipenuhi nostalgia. Kota ini memang layaknya seorang kekasih yang memberikan rasa nyaman dan aman. Dan ketika mereka yang pernah mencicipi keromantisan kota Yogya harus menjejakkan kaki pergi dari kota ini, layaknya kekasih pula, Yogyakarta selalu dirindukan.

Sama seperti Shirabu, yang selalu merindukan Semi.

Dan Semi, yang juga selalu merindukan Shirabu.


Jl. Malioboro. Pukul 20.00 malam hari.

Semi berjalan berdampingan dengan Shirabu, kala bibirnya kelu untuk memulai sebuah percakapan, fikirannya terlalu kosong untuk sekedar membuka pembicaraan. Padahal ia yang pertama mengajak Shirabu pergi dengannya.

Atau ia terlalu senang karna bisa berduaan dengan sang pujaan hati, yang selalu ia damba sedari Sekolah Menengah Atas.

“Kak Semi?” Panggil Shirabu. Semi yang sedari tadi berfikir, mengalihkan atensinya kepada Shirabu yang kini tengah berdiri didepannya.

“Hm? Ada apa Bu?” Tanyanya. Shirabu menggeleng, lantas menimbulkan seribu pertanyaan melintas dalam kepala Semi.

“Gapapa, aku lihat wajah kakak kurang bersemangat. Kakak sedang sakit?” Tanya Shirabu lagi. Semi menggeleng, dan memberikan Shirabu senyum terbaik yang dia miliki.

“Aku gapapa, mungkin karna dingin? Yogyakarta sedang dingin akhir-akhir ini.” Semi berujar. Shirabu mendelik, memberikan tatapan penuh selidik kearah Semi yang dihadiahi tatapan tanya dari orang yang ia beri sanksi mata. Yang kemudian dibalas delikan acuh dari Shirabu.

Lalu mereka tak bersua lagi, kembali berjalan membelah kerumunan orang di Jalan Malioboro ini. Mereka berkeliling sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi kesebuah angkringan yang cukup jauh dari hiruk pikuk manusia.

Mengambil tempat berhadapan, Semi dapat leluasa melihat setiap lekuk indah wajah Shirabu tanpa takut sang empunya memergokinya. Keheningan terasa kembali, meski angkringan ini menyetel lagu sepertinya mereka lebih suka sunyi untuk satu sama lain.

Tak ada yang ingin memulai percakapan, terlalu malu.

“Kak Semi tidak suka pergi bersama Shirabu?.” Pertanyaan mengagetkan datang dari bibir cherry Shirabu, yang membuat Semi berkedip berulang-ulang.

hah, batinnya.

“Bukan seperti itu, Shira.” Ujar Semi. Shirabu melirik Semi sebentar, sebelum akhirnya ia menundukkan kepalanya kembali.

“Lalu? Kenapa kakak tidak bersuara sedari tadi? Padahal aku ingin lebih lama mendengar suara kakak.” kalimat dibagian akhir sengaja Shirabu kecilkan seperti berbisik, agar Semi tak dapat mendengarnya dengan jelas.

Berutung, tempat yang mereka berdua datangi ramai akan orang berbincang. Jadi, kemungkinan Semi untuk mendengar kalimat terakhirnya sangatlah tipis.

“Hehe, aku terlalu bingung untuk memulai percakapan ini. Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang pandai mencari topik pembicaraan. Bahkan semua temanku berkata jikalau aku adalah manusia yang tak tahu caranya bersosialisasi dengan orang,

Aku mempunyai sahabat 3 orang saja sangat bersyukur.” tutur Semi. Shirabu yang mendengarnya tersenyum, akhirnya, ia bisa mendengarkan suara Semi lebih lama.

“Tapi menurutku ngga tuh.” tukas Shirabu. Semi memberikan Shirabu tatapan pertanyaan.

“Maksudnya?”

“Iya, kakak itu orangnya asik kok. Masalah mencari topik, aku suka membahas topik apa saja. Jangan khawatir kehabisan pembicaraan, aku sangat senang untuk membantu kakak tak keluar dari percakapan hehehe.” Shirabu berucap.

Hangat.

Itulah yang Semi rasakan pada sekitaran dadanya, melihat senyum semanis madu milik Shirabu memberikan ketenangan hati dalam dirinya.

“Terima kasih.” Ujar Semi tulus. Shirabu mengembangkan senyumnya menjadi cengir kemudian mengangguk tanda ia menjawab pernyataan terima kasih Semi.

Percakapan mereka terputus sementara karna pesanan mereka datang. Mereka menikmati waktu berdua, tanpa takut ada yang mengusik.


Rumah Shirabu Pukul 22.00 malam

“Kak Semi, terima kasih atas waktunya selama 3 jam ini. Aku sangat menikmatinya.” Tutur Shirabu. Semi mengangguk, dan mengusak surai kecoklatan dari yang muda.

“Sama-sama, sudah sana masuk. Hari semakin malam, berada diluar terlalu lama akan membuatmu masuk angin.” Semi berujar. Shirabu mengangguk, kemudian berpamitan.

“Kalau gitu, aku izin masuk dulu ya. Selamat malam kak Semi!.” Pamit Shirabu. Semi tak langsung menjawab, ia masih bergeming. Masih sibuk dengan segala pikirannya.

Apakah aku harus menyatakannya sekarang? Atau tidak? Tapi, kata orang tak baik menunda-nunda. Baiklah, aku akan menyatakannya sekarang, batin Semi menggebu.

“Em Shirabu?.” Panggil Semi. Shirabu yang tadinya ingin membuka pagar rumahnya berbalik, kemudian menjawab panggilan Semi.

“Ya? Kak?.” Tanya Shirabu.

“Errr... Semi suka sama Shirabu.” pernyataan lantang keluar dengan lancar dari mulut Semi. Yang membuat Shirabu terkejut, dan senang di saat bersamaan.

“Kakak... suka Shira?.” Tanya Shirabu tak percaya. Semi mengagguk dengan yakin.

“Shira juga suka kakak.” ujar Shirabu malu. Semi tak berkutik, rasanya ia ingin berteriak kegirangan karna cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

“Kamu... serius?”

Shirabu mengangguk.

“Mamaaaa.”

“AHAHAHAHA.”

Malam itu, adalah malam yang sangat sangat berharga bagi keduanya. Siapa sangka pernyataan cinta mendadak dari Semi, membuahkan hasil yang sangat jauh dari ekspektasi awal Semi.


Pun Yogyakarta layaknya seorang kekasih, kota ini selalu mengingatkan kita bahwa ‘rumah’ tidak melulu tentang tempat, seringkali ‘rumah’ adalah tentang perasaan. Perasaan terhadap seseorang, terserah perasaan macam apa. Setiap orang mempunyai pandangan tersendiri tentang sebuah perasaan bukan?

Mereka juga, bisa menjadi 'rumah' berpulang, ketika kita lelah, membutuhkan segala yang kita butuhkan.

Remang cahaya Yogyakarta, suasananya yang santai, syahdunya perbincangan tengah malam di lesehan pinggir jalan, dan senyum ramah yang menyapa di setiap sudut jalan. Ah, Tuhan pasti sedang senang saat membuat kota Yogyakarta.

“Mungkin benar kata Joko Pinurbo, Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, angkringan dan juga Semi Eita.” ㅡShirabu Kenjiro.

Dua insan kota Yogya

Pairs: SemiShira (Semi Eita x Shirabu Kenjiro) Tags: Fluff, Local! Au.


Coba tanyakan pada setiap orang yang pernah tinggal di Yogyakarta selama beberapa waktu, mana kota yang paling romantis di Indonesia. Jawaban mereka pasti sama: Yogyakarta sebagai pilihan kota romantis mereka.

Begitupun dengan Shirabu, jika dia di beri pertanyaan seputar Yogyakarta hal yang akan pertama kali terlintas di pikirannya pastilah Semi Eita. Karna, katanya, Semi Eita adalah salah satu dari sekian banyaknya fragmentasi yang di berikan oleh kota Yogyakarta kepada dirinya untuk dinikmati.

Ada sesuatu tentang Yogyakarta yang membuat Shirabu selalu jatuh cinta dan dipenuhi nostalgia. Kota ini memang layaknya seorang kekasih yang memberikan rasanyaman dan aman. Dan ketika mereka yang pernah mencicipi keromantisan kota Yogya harus menjejakkan kaki pergi dari kota ini, layaknya kekasih pula, Yogyakarta selalu dirindukan.

Sama seperti Shirabu, yang selalu merindukan Semi.

Dan Semi, yang juga selalu merindukan Shirabu.


Jl. Malioboro. Pukul 20.00 malam hari.

Semi berjalan berdampingan dengan Shirabu, kala bibirnya kelu untuk memulai sebuah percakapan, fikirannya terlalu kosong untuk sekedar membuka pembicaraan. Padahal ia yang pertama mengajak Shirabu pergi dengannya.

Atau ia terlalu senang karna bisa berduaan dengan sang pujaan hati, yang selalu ia damba sedari Sekolah Menengah Atas.

“Kak Semi?” Panggil Shirabu. Semi yang sedari tadi berfikir, mengalihkan atensinya kepada Shirabu yang kini tengah berdiri didepannya.

“Hm? Ada apa Bu?” Tanyanya. Shirabu menggeleng, lantas menimbulkan seribu pertanyaan melintas dalam kepala Semi.

“Gapapa, aku lihat wajah kakak kurang bersemangat. Kakak sedang sakit?” Tanya Shirabu lagi. Semi menggeleng, dan memberikan Shirabu senyum terbaik yang dia miliki.

“Aku gapapa, mungkin karna dingin? Yogyakarta sedang dingin akhir-akhir ini” Semi berujar. Shirabu mendelik, memberikan tatapan penuh selidik kearah Semi yang dihadiahi tatapan tanya dari orang yang ia beri sanksi mata. Yang kemudian dibalas delikan acuh dari Shirabu.

Lalu mereka tak bersua lagi, kembali berjalan membelah kerumunan orang di Jalan Malioboro ini. Mereka berkeliling sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi kesebuah angkringan yang cukup jauh dari hiruk pikuk manusia.

Mengambil tempat berhadapan, Semi dapat leluasa melihat setiap lekuk indah wajah Shirabu tanpa takut sang empunya memergokinya. Keheningan terasa kembali, meski angkringan ini menyetel lagu sepertinya mereka lebih suka sunyi untuk satu sama lain.

Tak ada yang ingin memulai percakapan, terlalu malu.

“Kak Semi tidak suka pergi bersama Shirabu?.” Pertanyaan mengagetkan datang dari bibir cherry Shirabu, yang membuat Semi berkedip berulang-ulang.

hah batinnya.

“Bukan seperti itu, Shira.” Ujar Semi. Shirabu melirik Semi sebentar, sebelum akhirnya ia menundukkan kepalanya kembali.

“Lalu? Kenapa kakak tidak bersuara sedari tadi? Padahal aku ingin lebih lama mendengar suara kakak” kalimat dibagian akhir sengaja Shirabu kecilkan seperti berbisik, agar Semi tak dapat mendengarnya dengan jelas.

Berutung, tempat yang mereka berdua datangi ramai akan orang berbincang. Jadi, kemungkinan Semi untuk mendengar kalimat terakhirnya sangatlah tipis.

“Hehe, aku terlalu bingung untuk memulai percakapan ini. Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang pandai mencari topik pembicaraan. Bahkan semua temanku berkata jikalau aku adalah manusia yang tak tahu caranya bersosialisasi dengan orang,

Aku mempunyai sahabat 3 orang saja sangat bersyukur.” tutur Semi. Shirabu yang mendengarnya tersenyum, akhirnya, ia bisa mendengarkan suara Semi lebih lama.

“Tapi menurutku ngga tuh” tukas Shirabu. Semi memberikan Shirabu tatapan pertanyaan.

“Maksudnya?”

“Iya, kakak itu orangnya asik kok. Masalah mencari topik, aku suka membahas topik apa saja. Jangan khawatir kehabisan pembicaraan, aku sangat senang untuk membantu kakak tak keluar dari percakapan hehehe.” Shirabu berucap.

Hangat.

Itulah yang Semi rasakan pada sekitaran dadanya, melihat senyum semanis madu milik Shirabu memberikan ketenangan hati dalam dirinya.

“Terima kasih” Ujar Semi tulus. Shirabu mengembangkan senyumnya menjadi cengir kemudian mengangguk tanda ia menjawab pernyataan terima kasih Semi.

Percakapan mereka terputus sementara karna pesanan mereka datang. Mereka menikmati waktu berdua, tanpa takut ada yang mengusik.


Rumah Shirabu Pukul 22.00 malam

“Kak Semi, terima kasih atas waktunya selama 3 jam ini. Aku sangat menikmatinya.” Tutur Shirabu. Semi mengangguk, dan mengusak surai kecoklatan Shirabu.

“Sama-sama, sudah sana masuk. Hari semakin malam, berda diluar terlalu lama akan membuatmu masuk angin.” Semi berujar. Shirabu mengangguk, kemudian berpamitan.

“Kalau gitu, aku izin masuk dulu ya. Selamat malam kak Semi!” Ujar Shirabu. Semi tak langsung menjawab, ia masih bergeming.

Apakah aku harus menyatakannya sekarang? Atau tidak? Tapi, kata orang tak baik menunda-nunda. Baiklah, aku akan menyatakannya sekarang, batin Semi menggebu.

“Em Shirabu?” Panggil Semi. Shirabu yang tadinya ingin membuka pagar rumahnya berbalik, kemudian menjawab panggilan Semi.

“Ya? Kak?” Tanya Shirabu.

“Errr... Semi suka sama Shirabu” pernyataan lantang keluar dengan lancar dari mulut Semi. Yang membuat Shirabu terkejut, dan senang di saat bersamaan.

“Kakak... suka Shira?” Tanya Shirabu tak percaya. Semi mengagguk dengan yakin.

“Shira juga suka kakak” ujar Shirabu malu. Semi tak berkutik, rasanya ia ingin berteriak kegirangan karna cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

“Kamu... serius?”

Shirabu mengangguk.

“Mamaaaa”

“AHAHAHAHA”

Malam itu, adalah malam yang sangat sangat berharga bagi keduanya. Siapa sangka pernyataan cinta mendadak dari Semi, membuahkan hasil yang sangat jauh dari ekspektasi awal Semi.


Pun Yogyakarta layaknya seorang kekasih, kota ini selalu mengingatkan kita bahwa ‘rumah’ tidak melulu tentang tempat, seringkali ‘rumah’ adalah tentang perasaan. Perasaan terhadap seseorang, terserah perasaan macam apa. Setiap orang mempunyai pandangan tersendiri tentang sebuah perasaan bukan?

Mereka juga, bisa menjadi 'rumah' berpulang, ketika kita lelah, membutuhkan segala yang kita butuhkan.

Remang cahaya Yogyakarta, suasananya yang santai, syahdunya perbincangan tengah malam di lesehan pinggir jalan, dan senyum ramah yang menyapa di setiap sudut jalan. Ah, Tuhan pasti sedang senang saat membuat kota Yogyakarta.

“Mungkin benar kata Joko Pinurbo, Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, angkringan dan juga Semi Eita” ㅡShirabu Kenjiro.

Dua insan kota Yogya

Pairs: SemiShira (Semi Eita x Shirabu Kenjiro) Tags: Fluff, Local! Au.


Coba tanyakan pada setiap orang yang pernah tinggal di Yogyakarta selama beberapa waktu, mana kota yang paling romantis di Indonesia. Jawaban mereka pasti sama: Yogyakarta sebagai pilihan kota romantis mereka.

Begitupun dengan Shirabu, jika dia di beri pertanyaan seputar Yogyakarta hal yang akan pertama kali terlintas di pikirannya pastilah Semi Eita. Karna, katanya, Semi Eita adalah salah satu dari sekian banyaknya fragmentasi yang di berikan oleh kota Yogyakarta kepada dirinya untuk dinikmati.

Ada sesuatu tentang Yogyakarta yang membuat Shirabu selalu jatuh cinta dan dipenuhi nostalgia. Kota ini memang layaknya seorang kekasih yang memberikan rasanyaman dan aman. Dan ketika mereka yang pernah mencicipi keromantisan kota Yogya harus menjejakkan kaki pergi dari kota ini, layaknya kekasih pula, Yogyakarta selalu dirindukan.

Sama seperti Shirabu, yang selalu merindukan Semi.

Dan Semi, yang juga selalu merindukan Shirabu.


Jl. Malioboro. Pukul 20.00 malam hari.

Semi berjalan berdampingan dengan Shirabu, kala bibirnya kelu untuk memulai sebuah percakapan, fikirannya terlalu kosong untuk sekedar membuka pembicaraan. Padahal ia yang pertama mengajak Shirabu pergi dengannya.

Atau ia terlalu senang karna bisa berduaan dengan sang pujaan hati, yang selalu ia damba sedari Sekolah Menengah Atas.

“Kak Semi?” Panggil Shirabu. Semi yang sedari tadi berfikir, mengalihkan atensinya kepada Shirabu yang kini tengah berdiri didepannya.

“Hm? Ada apa Bu?” Tanyanya. Shirabu menggeleng, lantas menimbulkan seribu pertanyaan melintas dalam kepala Semi.

“Gapapa, aku lihat wajah kakak kurang bersemangat. Kakak sedang sakit?” Tanya Shirabu lagi. Semi menggeleng, dan memberikan Shirabu senyum terbaik yang dia miliki.

“Aku gapapa, mungkin karna dingin? Yogyakarta sedang dingin akhir-akhir ini” Semi berujar. Shirabu mendelik, memberikan tatapan penuh selidik kearah Semi yang dihadiahi tatapan tanya dari orang yang ia beri sanksi mata. Yang kemudian dibalas delikan acuh dari Shirabu.

Lalu mereka tak bersua lagi, kembali berjalan membelah kerumunan orang di Jalan Malioboro ini. Mereka berkeliling sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi kesebuah angkringan yang cukup jauh dari hiruk pikuk manusia.

Mengambil tempat berhadapan, Semi dapat leluasa melihat setiap lekuk indah wajah Shirabu tanpa takut sang empunya memergokinya. Keheningan terasa kembali, meski angkringan ini menyetel lagu sepertinya mereka lebih suka sunyi untuk satu sama lain.

Tak ada yang ingin memulai percakapan, terlalu malu.

“Kak Semi tidak suka pergi bersama Shirabu?.” Pertanyaan mengagetkan datang dari bibir cherry Shirabu, yang membuat Semi berkedip berulang-ulang.

hah batinnya.

“Bukan seperti itu, Shira.” Ujar Semi. Shirabu melirik Semi sebentar, sebelum akhirnya ia menundukkan kepalanya kembali.

“Lalu? Kenapa kakak tidak bersuara sedari tadi? Padahal aku ingin lebih lama mendengar suara kakak” kalimat dibagian akhir sengaja Shirabu kecilkan seperti berbisik, agar Semi tak dapat mendengarnya dengan jelas.

Berutung, tempat yang mereka berdua datangi ramai akan orang berbincang. Jadi, kemungkinan Semi untuk mendengar kalimat terakhirnya sangatlah tipis.

“Hehe, aku terlalu bingung untuk memulai percakapan ini. Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang pandai mencari topik pembicaraan. Bahkan semua temanku berkata jikalau aku adalah manusia yang tak tahu caranya bersosialisasi dengan orang,

Aku mempunyai sahabat 3 orang saja sangat bersyukur.” tutur Semi. Shirabu yang mendengarnya tersenyum, akhirnya, ia bisa mendengarkan suara Semi lebih lama.

“Tapi menurutku ngga tuh” tukas Shirabu. Semi memberikan Shirabu tatapan pertanyaan.

“Maksudnya?”

“Iya, kakak itu orangnya asik kok. Masalah mencari topik, aku suka membahas topik apa saja. Jangan khawatir kehabisan pembicaraan, aku sangat senang untuk membantu kakak tak keluar dari percakapan hehehe.” Shirabu berucap.

Hangat.

Itulah yang Semi rasakan pada sekitaran dadanya, melihat senyum semanis madu milik Shirabu memberikan ketenangan hati dalam dirinya.

“Terima kasih” Ujar Semi tulus. Shirabu mengembangkan senyumnya menjadi cengir kemudian mengangguk tanda ia menjawab pernyataan terima kasih Semi.

Percakapan mereka terputus sementara karna pesanan mereka datang. Mereka menikmati waktu berdua, tanpa takut ada yang mengusik.


Rumah Shirabu Pukul 22.00 malam

“Kak Semi, terima kasih atas waktunya selama 3 jam ini. Aku sangat menikmatinya.” Tutur Shirabu. Semi mengangguk, dan mengusak surai kecoklatan Shirabu.

“Sama-sama, sudah sana masuk. Hari semakin malam, berda diluar terlalu lama akan membuatmu masuk angin.” Semi berujar. Shirabu mengangguk, kemudian berpamitan.

“Kalau gitu, aku izin masuk dulu ya. Selamat malam kak Semi!” Ujar Shirabu. Semi tak langsung menjawab, ia masih bergeming.

Apakah aku harus menyatakannya sekarang? Atau tidak? Tapi, kata orang tak baik menunda-nunda. Baiklah, aku akan menyatakannya sekarang, batin Semi menggebu.

“Em Shirabu?” Panggil Semi. Shirabu yang tadinya ingin membuka pagar rumahnya berbalik, kemudian menjawab panggilan Semi.

“Ya? Kak?” Tanya Shirabu.

“Errr... Semi suka sama Shirabu” pernyataan lantang keluar dengan lancar dari mulut Semi. Yang membuat Shirabu terkejut, dan senang di saat bersamaan.

“Kakak... suka Shira?” Tanya Shirabu tak percaya. Semi mengagguk dengan yakin.

“Shira juga suka kakak” ujar Shirabu malu. Semi tak berkutik, rasanya ia ingin berteriak kegirangan karna cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

“Kamu... serius?”

Shirabu mengangguk.

“Mamaaaa”

“AHAHAHAHA”

Malam itu, adalah malam yang sangat sangat berharga bagi keduanya. Siapa sangka pernyataan cinta mendadak dari Semi, membuahkan hasil yang sangat jauh dari ekspektasi awal Semi.


Pun Yogyakarta layaknya seorang kekasih, kota ini selalu mengingatkan kita bahwa ‘rumah’ tidak melulu tentang tempat, seringkali ‘rumah’ adalah tentang perasaan. Perasaan terhadap seseorang, terserah perasaan macam apa. Setiap orang mempunyai pandangan tersendiri tentang sebuah perasaan bukan?

Mereka juga, bisa menjadi 'rumah' berpulang, ketika kita lelah, membutuhkan segala yang kita butuhkan.

Remang cahaya Yogyakarta, suasananya yang santai, syahdunya perbincangan tengah malam di lesehan pinggir jalan, dan senyum ramah yang menyapa di setiap sudut jalan. Ah, Tuhan pasti sedang senang saat membuat kota Yogyakarta.

“Mungkin benar kata Joko Pinurbo, Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, angkringan dan juga Semi Eita” ㅡShirabu Kenjiro.

Pendahuluan, yang menjadi Penutup.

Tuan, kita pernah saling mengisi hari hari kita yang sangat singkat dengan sebuah pertemuan, yang tak pernah sama sekali kita rencanakan.

Merancang rencanapun, tidak.

Takdir yang membawa kita untuk bertemu sapa, hingga pada akhirnya menjadi sia.

Kita pernah lagi bertemu, saat engkau meninggalkanku, lalu kau kembali.

Tapi engkau enggan menjadikanku rumahmu lagi, kau hanya menjadikanku rumah persinggahan. Yang akhirnya kau tinggalkan bersama kenangan.

Segala kenangan yang kau tinggalkan terhadapku, masih 'ku dekap dengan erat. Seakan tak ingin ia menjadi sudah, yang lenyap termakan usia.

Terimakasih, Tuan. Karna engkau, aku tahu apa itu arti sebenarnya sebuah Pendahuluan yang akhirnya, akan ada Penutup yang menyudahi semua kisah ini agar menjadi sempurna.

Terimakasih, Tuan. Karna engkau, aku tahu bagaimana rasa benar-benar mencintai seseorang. Yang jika ingin dilepaskan hanya akan mencoreng luka.

Tapi, kau yang meninggalkan.

Dan aku ingin ber-terimakasih lagi, Tuan. Karna engkau aku bisa setabah langit, selapang samudra dan seikhlas alam semesta. Karna engkau, menjadikanku sebagai orang yang kuat menyanjung pertemuan yang akhirnya ditinggalkan tanpa kata permisi.