Elegi

Tiga Pagi

“Yuuji, ayo kita pindah ke dalam saja. Di sini anginnya sudah mulai mendingin.” Megumi berujar. Yuuji melihat ke arah Megumi dengan senyuman pasi.

“Biarkan sedikit lagi aku menikmati semilir angin ini, Gumi. Saat aku mati nanti, aku tak dapat merasakan lagi angin malam yang membelai halus kulitku.” Yuuji mengatakannya dengan lemah. Bak seorang bayi yang baru saja keluar dari rahim sang ibu.

Megumi mengangguk, meski ada rasa khawatir di dalam hatinya. Ia ingin sekali melihat tarikan simpul di bibir sang kekasih hati.

“Baiklah, aku beri 15 menit lagi. Apakah itu cukup?” Tanya Megumi. Yuuji segera mengangguk dengan senyum merekah menghiasi wajah indahnya, yang membuat Megumi mau tak mau menarik senyumannya.

15 menit berlalu

“Yuuji? Apakau sudahㅡ”

Perkataan Megumi terhenti, tatkala netranya melihat Yuuji tengah tertidur lelap di kursi rodanya dengan jaket tebal milik Megumi tersampir pada bahunya yang sempit.

Sedari tadi, Megumi meninggalkan Yuuji di taman karena dokter yang menangani Yuuji memanggilnya ke dalam rumah sakit. Dan ia baru hadir 15 menit kemudian.

Perlahan, Megumi mendekati Yuuji. Menggerakkan bahu Yuuji sedikit kencang, berharap sang kekasih hatinya bangun.

Namun, nihil yang didapat oleh Megumi.

Yuuji sang kekasih hatinya, telah pergi bersamaan dengan angin malam yang menghantarnya pulang menemui sang Pencipta.

Pukul tiga pagi itu, kedukaan hati Megumi bersua menangis atas kepergian sang kekasih hati.

mungkin pilu musti meranggas. Biar terlihat sakitnya oleh mata-mata dan tubuh yang takut akan mati. mungkin luka musti menganga biar terlihat sakitnya oleh angin malam yang suka mencumbui kaki gunung.

Mimpi.

Pair: JongSang Tag: Angst, fluff.


Kata orang, mimpi itu adalah cerminan dari hari esok, namun, seolah tak percaya ada sebagian orang yang tak menganggap itu hanyalah bualan semata. Mimpi ya mimpi, tak lebih.

Sama seperti halnya Jongho, yang juga tak pernah mau mempercayai apa yang ia mimpikan.


Rumah Yeosang. Pukul 00.00 pagi.

Riiingggg, riiinggggg

Yeosang yang tengah mengetik proposal kegiatan dengan tenang, harus dikagetkan dengan bunyi telfon masuk dari Handphonenya, segera ia mengangkat setelah tahu siapa yang menelfonnya, di tengah malam seperti ini.

Panggilan tersambung, Yeosang bisa mendengar isakan halus dari si penelfon.

“Hmm, Jongho? Kamu kenapa?.” Tanya Yeosang.

“Hiks, Kakak, bisa datang kerumah tidak? Hiks. Aku takut huhu.” Isakan Jongho semakin kuat, Yeosang tak tega dibuatnya.

“Kamu kenapa sayang? Coba jelasin dulu? Kok sampai bisa nangis?.” Tanya Yeosang lagi.

“Hueee aku mimpi kakak meninggal masa, gaenak banget mimpinya huhu.” Terdengar rengekan sebal dari si manis, Yeosang hanya tertawa renyah sambil membisikkan kata-kata penenang untuk si penelfon.

“Hahaha, udah ih jangan nangis. Maaf kakak ga bisa datang kesana, proposal kakak baru sebagian selesai. Tertenggat esok sudah harus dikumpulkan, kakak temani sedari telfon saja tidak apa-apa kan?” Yeosang memastikan. Ia takut jika Yeosang tak bisa datang, Jongho ngambek padanya.

“Hiks, iya gapapa, aku ngerti kok. Tapi kakak temani Yeosang aja ya sampe bobok, takut hehe.” Ujar Jongho dari sebrang telfon. Yeosang ikut tersenyum mendengarnya, Yeosang sangat senang, Jongho pengertian terhadap dirinya. Ia tak terlalu menuntut Yeosang untuk ini dan itu.

“Kamu tau gasih, arti mimpi kamu itu apa?.” Pertanyaan Yeosang membuat Jongho berfikir, Selang sedetik ia dengan segera membalas pertanyaan dari Yeosang.

_“Nggak tuh, artinya apa kak? Kalo artinya jelek aku ngga mau denger.” Jongho membuat wajah seperti anak kecil yang sedang merajuk pada ibunya, itu sangat lucu dimata Yeosang.

Ah aku lupa memberi tahu, Mereka sudah mengganti panggilan telfon dengan video call.

“HAAHAHA nggak kok sayang, ini artinya bagus! Artinya kakak bakalan panjang umur, loh.” Jelas Yeosang. Yeosang melihat binar mata Jongho saat ia menjelaskan apa arti dari mimpinya itu.

“Eh serius kak? WOAH, SENENG BANGET.”

“Heh jangan teriak-teriak sudah malam nanti kamu dimarahi tetangga.”

“Ngga bakal sih bwek.” Percakapan keduanya berlanjut sampai jam 1 dini hari, Jongho telah pulas tergeletak dibantalnya dan Yeosang yang masih mengetik proposal yang hampir jadi itu.

Sengaja keduanya tak memutuskan panggilan, katanya jikalau mimpi buruk lagi bisa langsung berbicara tanpa harus menunggu panggilan diangkat.

Yeosang tersenyum gemas melihat wajah sang kekasih yang tertidur pulas, pipi merah dan bibir peach itu sangat menggoda sekali untuk dirinya cium. Lalu Yeosang cepat-cepat membuang fikiran itu, kemudian tertawa renyah sambil melanjutkan mengetik proposalnya.


??? Pukul 09.00 pagi.

Hari ini, bukan saja keluarga Yeosang dan Jongho yang menyuarakan duka cita, Awan gelap yang menghiasi sang cakrawala, juga seperti mengatakan duka cita yang teramat sangat.

Ya, mimpi Jongho kala itu menjadi kenyataan.

Yeosang kini telah pergi, bersama dengan angin malam. Melayang jauh, tak tentu arah. Jongho sangat marah pada dirinya sendiri, mengapa ia harus memimpikan mimpi konyol itu?

Katanya, arti mimpi yang dimimpikan Jongho itu membuat orang terkasihnya panjang umur, namun coba lihat, Kekasihnya kini telah pergi, ia pergi hanya karna mimpi bodoh itu.

Memang seharusnya ia tak percaya dengan bualan-bualan manusia dengan fantasi tinggi yang membuat orang lain menderita, hatinya berkedut sakit.

“Kakak, katanya, arti dari mimpiku itu baik, tapi kenapa malah menjadi seperti ini, apakah kakak mengatakan itu hanya untuk membuatku tenang dan senang? Tidak kak.”

End

Gaje banget soalnya aku udh mentok hehe:b

Dua insan kota Yogya

Pairs: SemiShira (Semi Eita x Shirabu Kenjiro) Tags: Fluff, Local! Au.


Coba tanyakan pada setiap orang yang pernah tinggal di Yogyakarta selama beberapa waktu, mana kota yang paling romantis di Indonesia. Jawaban mereka pasti sama: Yogyakarta sebagai pilihan kota romantis mereka.

Begitupun dengan Shirabu, jika dia di beri pertanyaan seputar Yogyakarta hal yang akan pertama kali terlintas di pikirannya pastilah Semi Eita. Karna, katanya, Semi Eita adalah salah satu dari sekian banyaknya fragmentasi yang di berikan oleh kota Yogyakarta kepada dirinya untuk dinikmati.

Ada sesuatu tentang Yogyakarta yang membuat Shirabu selalu jatuh cinta dan dipenuhi nostalgia. Kota ini memang layaknya seorang kekasih yang memberikan rasa nyaman dan aman. Dan ketika mereka yang pernah mencicipi keromantisan kota Yogya harus menjejakkan kaki pergi dari kota ini, layaknya kekasih pula, Yogyakarta selalu dirindukan.

Sama seperti Shirabu, yang selalu merindukan Semi.

Dan Semi, yang juga selalu merindukan Shirabu.


Jl. Malioboro. Pukul 20.00 malam hari.

Semi berjalan berdampingan dengan Shirabu, kala bibirnya kelu untuk memulai sebuah percakapan, fikirannya terlalu kosong untuk sekedar membuka pembicaraan. Padahal ia yang pertama mengajak Shirabu pergi dengannya.

Atau ia terlalu senang karna bisa berduaan dengan sang pujaan hati, yang selalu ia damba sedari Sekolah Menengah Atas.

“Kak Semi?” Panggil Shirabu. Semi yang sedari tadi berfikir, mengalihkan atensinya kepada Shirabu yang kini tengah berdiri didepannya.

“Hm? Ada apa Bu?” Tanyanya. Shirabu menggeleng, lantas menimbulkan seribu pertanyaan melintas dalam kepala Semi.

“Gapapa, aku lihat wajah kakak kurang bersemangat. Kakak sedang sakit?” Tanya Shirabu lagi. Semi menggeleng, dan memberikan Shirabu senyum terbaik yang dia miliki.

“Aku gapapa, mungkin karna dingin? Yogyakarta sedang dingin akhir-akhir ini.” Semi berujar. Shirabu mendelik, memberikan tatapan penuh selidik kearah Semi yang dihadiahi tatapan tanya dari orang yang ia beri sanksi mata. Yang kemudian dibalas delikan acuh dari Shirabu.

Lalu mereka tak bersua lagi, kembali berjalan membelah kerumunan orang di Jalan Malioboro ini. Mereka berkeliling sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi kesebuah angkringan yang cukup jauh dari hiruk pikuk manusia.

Mengambil tempat berhadapan, Semi dapat leluasa melihat setiap lekuk indah wajah Shirabu tanpa takut sang empunya memergokinya. Keheningan terasa kembali, meski angkringan ini menyetel lagu sepertinya mereka lebih suka sunyi untuk satu sama lain.

Tak ada yang ingin memulai percakapan, terlalu malu.

“Kak Semi tidak suka pergi bersama Shirabu?.” Pertanyaan mengagetkan datang dari bibir cherry Shirabu, yang membuat Semi berkedip berulang-ulang.

hah, batinnya.

“Bukan seperti itu, Shira.” Ujar Semi. Shirabu melirik Semi sebentar, sebelum akhirnya ia menundukkan kepalanya kembali.

“Lalu? Kenapa kakak tidak bersuara sedari tadi? Padahal aku ingin lebih lama mendengar suara kakak.” kalimat dibagian akhir sengaja Shirabu kecilkan seperti berbisik, agar Semi tak dapat mendengarnya dengan jelas.

Berutung, tempat yang mereka berdua datangi ramai akan orang berbincang. Jadi, kemungkinan Semi untuk mendengar kalimat terakhirnya sangatlah tipis.

“Hehe, aku terlalu bingung untuk memulai percakapan ini. Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang pandai mencari topik pembicaraan. Bahkan semua temanku berkata jikalau aku adalah manusia yang tak tahu caranya bersosialisasi dengan orang,

Aku mempunyai sahabat 3 orang saja sangat bersyukur.” tutur Semi. Shirabu yang mendengarnya tersenyum, akhirnya, ia bisa mendengarkan suara Semi lebih lama.

“Tapi menurutku ngga tuh.” tukas Shirabu. Semi memberikan Shirabu tatapan pertanyaan.

“Maksudnya?”

“Iya, kakak itu orangnya asik kok. Masalah mencari topik, aku suka membahas topik apa saja. Jangan khawatir kehabisan pembicaraan, aku sangat senang untuk membantu kakak tak keluar dari percakapan hehehe.” Shirabu berucap.

Hangat.

Itulah yang Semi rasakan pada sekitaran dadanya, melihat senyum semanis madu milik Shirabu memberikan ketenangan hati dalam dirinya.

“Terima kasih.” Ujar Semi tulus. Shirabu mengembangkan senyumnya menjadi cengir kemudian mengangguk tanda ia menjawab pernyataan terima kasih Semi.

Percakapan mereka terputus sementara karna pesanan mereka datang. Mereka menikmati waktu berdua, tanpa takut ada yang mengusik.


Rumah Shirabu Pukul 22.00 malam

“Kak Semi, terima kasih atas waktunya selama 3 jam ini. Aku sangat menikmatinya.” Tutur Shirabu. Semi mengangguk, dan mengusak surai kecoklatan dari yang muda.

“Sama-sama, sudah sana masuk. Hari semakin malam, berada diluar terlalu lama akan membuatmu masuk angin.” Semi berujar. Shirabu mengangguk, kemudian berpamitan.

“Kalau gitu, aku izin masuk dulu ya. Selamat malam kak Semi!.” Pamit Shirabu. Semi tak langsung menjawab, ia masih bergeming. Masih sibuk dengan segala pikirannya.

Apakah aku harus menyatakannya sekarang? Atau tidak? Tapi, kata orang tak baik menunda-nunda. Baiklah, aku akan menyatakannya sekarang, batin Semi menggebu.

“Em Shirabu?.” Panggil Semi. Shirabu yang tadinya ingin membuka pagar rumahnya berbalik, kemudian menjawab panggilan Semi.

“Ya? Kak?.” Tanya Shirabu.

“Errr... Semi suka sama Shirabu.” pernyataan lantang keluar dengan lancar dari mulut Semi. Yang membuat Shirabu terkejut, dan senang di saat bersamaan.

“Kakak... suka Shira?.” Tanya Shirabu tak percaya. Semi mengagguk dengan yakin.

“Shira juga suka kakak.” ujar Shirabu malu. Semi tak berkutik, rasanya ia ingin berteriak kegirangan karna cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

“Kamu... serius?”

Shirabu mengangguk.

“Mamaaaa.”

“AHAHAHAHA.”

Malam itu, adalah malam yang sangat sangat berharga bagi keduanya. Siapa sangka pernyataan cinta mendadak dari Semi, membuahkan hasil yang sangat jauh dari ekspektasi awal Semi.


Pun Yogyakarta layaknya seorang kekasih, kota ini selalu mengingatkan kita bahwa ‘rumah’ tidak melulu tentang tempat, seringkali ‘rumah’ adalah tentang perasaan. Perasaan terhadap seseorang, terserah perasaan macam apa. Setiap orang mempunyai pandangan tersendiri tentang sebuah perasaan bukan?

Mereka juga, bisa menjadi 'rumah' berpulang, ketika kita lelah, membutuhkan segala yang kita butuhkan.

Remang cahaya Yogyakarta, suasananya yang santai, syahdunya perbincangan tengah malam di lesehan pinggir jalan, dan senyum ramah yang menyapa di setiap sudut jalan. Ah, Tuhan pasti sedang senang saat membuat kota Yogyakarta.

“Mungkin benar kata Joko Pinurbo, Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, angkringan dan juga Semi Eita.” ㅡShirabu Kenjiro.

Dua insan kota Yogya

Pairs: SemiShira (Semi Eita x Shirabu Kenjiro) Tags: Fluff, Local! Au.


Coba tanyakan pada setiap orang yang pernah tinggal di Yogyakarta selama beberapa waktu, mana kota yang paling romantis di Indonesia. Jawaban mereka pasti sama: Yogyakarta sebagai pilihan kota romantis mereka.

Begitupun dengan Shirabu, jika dia di beri pertanyaan seputar Yogyakarta hal yang akan pertama kali terlintas di pikirannya pastilah Semi Eita. Karna, katanya, Semi Eita adalah salah satu dari sekian banyaknya fragmentasi yang di berikan oleh kota Yogyakarta kepada dirinya untuk dinikmati.

Ada sesuatu tentang Yogyakarta yang membuat Shirabu selalu jatuh cinta dan dipenuhi nostalgia. Kota ini memang layaknya seorang kekasih yang memberikan rasanyaman dan aman. Dan ketika mereka yang pernah mencicipi keromantisan kota Yogya harus menjejakkan kaki pergi dari kota ini, layaknya kekasih pula, Yogyakarta selalu dirindukan.

Sama seperti Shirabu, yang selalu merindukan Semi.

Dan Semi, yang juga selalu merindukan Shirabu.


Jl. Malioboro. Pukul 20.00 malam hari.

Semi berjalan berdampingan dengan Shirabu, kala bibirnya kelu untuk memulai sebuah percakapan, fikirannya terlalu kosong untuk sekedar membuka pembicaraan. Padahal ia yang pertama mengajak Shirabu pergi dengannya.

Atau ia terlalu senang karna bisa berduaan dengan sang pujaan hati, yang selalu ia damba sedari Sekolah Menengah Atas.

“Kak Semi?” Panggil Shirabu. Semi yang sedari tadi berfikir, mengalihkan atensinya kepada Shirabu yang kini tengah berdiri didepannya.

“Hm? Ada apa Bu?” Tanyanya. Shirabu menggeleng, lantas menimbulkan seribu pertanyaan melintas dalam kepala Semi.

“Gapapa, aku lihat wajah kakak kurang bersemangat. Kakak sedang sakit?” Tanya Shirabu lagi. Semi menggeleng, dan memberikan Shirabu senyum terbaik yang dia miliki.

“Aku gapapa, mungkin karna dingin? Yogyakarta sedang dingin akhir-akhir ini” Semi berujar. Shirabu mendelik, memberikan tatapan penuh selidik kearah Semi yang dihadiahi tatapan tanya dari orang yang ia beri sanksi mata. Yang kemudian dibalas delikan acuh dari Shirabu.

Lalu mereka tak bersua lagi, kembali berjalan membelah kerumunan orang di Jalan Malioboro ini. Mereka berkeliling sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi kesebuah angkringan yang cukup jauh dari hiruk pikuk manusia.

Mengambil tempat berhadapan, Semi dapat leluasa melihat setiap lekuk indah wajah Shirabu tanpa takut sang empunya memergokinya. Keheningan terasa kembali, meski angkringan ini menyetel lagu sepertinya mereka lebih suka sunyi untuk satu sama lain.

Tak ada yang ingin memulai percakapan, terlalu malu.

“Kak Semi tidak suka pergi bersama Shirabu?.” Pertanyaan mengagetkan datang dari bibir cherry Shirabu, yang membuat Semi berkedip berulang-ulang.

hah batinnya.

“Bukan seperti itu, Shira.” Ujar Semi. Shirabu melirik Semi sebentar, sebelum akhirnya ia menundukkan kepalanya kembali.

“Lalu? Kenapa kakak tidak bersuara sedari tadi? Padahal aku ingin lebih lama mendengar suara kakak” kalimat dibagian akhir sengaja Shirabu kecilkan seperti berbisik, agar Semi tak dapat mendengarnya dengan jelas.

Berutung, tempat yang mereka berdua datangi ramai akan orang berbincang. Jadi, kemungkinan Semi untuk mendengar kalimat terakhirnya sangatlah tipis.

“Hehe, aku terlalu bingung untuk memulai percakapan ini. Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang pandai mencari topik pembicaraan. Bahkan semua temanku berkata jikalau aku adalah manusia yang tak tahu caranya bersosialisasi dengan orang,

Aku mempunyai sahabat 3 orang saja sangat bersyukur.” tutur Semi. Shirabu yang mendengarnya tersenyum, akhirnya, ia bisa mendengarkan suara Semi lebih lama.

“Tapi menurutku ngga tuh” tukas Shirabu. Semi memberikan Shirabu tatapan pertanyaan.

“Maksudnya?”

“Iya, kakak itu orangnya asik kok. Masalah mencari topik, aku suka membahas topik apa saja. Jangan khawatir kehabisan pembicaraan, aku sangat senang untuk membantu kakak tak keluar dari percakapan hehehe.” Shirabu berucap.

Hangat.

Itulah yang Semi rasakan pada sekitaran dadanya, melihat senyum semanis madu milik Shirabu memberikan ketenangan hati dalam dirinya.

“Terima kasih” Ujar Semi tulus. Shirabu mengembangkan senyumnya menjadi cengir kemudian mengangguk tanda ia menjawab pernyataan terima kasih Semi.

Percakapan mereka terputus sementara karna pesanan mereka datang. Mereka menikmati waktu berdua, tanpa takut ada yang mengusik.


Rumah Shirabu Pukul 22.00 malam

“Kak Semi, terima kasih atas waktunya selama 3 jam ini. Aku sangat menikmatinya.” Tutur Shirabu. Semi mengangguk, dan mengusak surai kecoklatan Shirabu.

“Sama-sama, sudah sana masuk. Hari semakin malam, berda diluar terlalu lama akan membuatmu masuk angin.” Semi berujar. Shirabu mengangguk, kemudian berpamitan.

“Kalau gitu, aku izin masuk dulu ya. Selamat malam kak Semi!” Ujar Shirabu. Semi tak langsung menjawab, ia masih bergeming.

Apakah aku harus menyatakannya sekarang? Atau tidak? Tapi, kata orang tak baik menunda-nunda. Baiklah, aku akan menyatakannya sekarang, batin Semi menggebu.

“Em Shirabu?” Panggil Semi. Shirabu yang tadinya ingin membuka pagar rumahnya berbalik, kemudian menjawab panggilan Semi.

“Ya? Kak?” Tanya Shirabu.

“Errr... Semi suka sama Shirabu” pernyataan lantang keluar dengan lancar dari mulut Semi. Yang membuat Shirabu terkejut, dan senang di saat bersamaan.

“Kakak... suka Shira?” Tanya Shirabu tak percaya. Semi mengagguk dengan yakin.

“Shira juga suka kakak” ujar Shirabu malu. Semi tak berkutik, rasanya ia ingin berteriak kegirangan karna cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

“Kamu... serius?”

Shirabu mengangguk.

“Mamaaaa”

“AHAHAHAHA”

Malam itu, adalah malam yang sangat sangat berharga bagi keduanya. Siapa sangka pernyataan cinta mendadak dari Semi, membuahkan hasil yang sangat jauh dari ekspektasi awal Semi.


Pun Yogyakarta layaknya seorang kekasih, kota ini selalu mengingatkan kita bahwa ‘rumah’ tidak melulu tentang tempat, seringkali ‘rumah’ adalah tentang perasaan. Perasaan terhadap seseorang, terserah perasaan macam apa. Setiap orang mempunyai pandangan tersendiri tentang sebuah perasaan bukan?

Mereka juga, bisa menjadi 'rumah' berpulang, ketika kita lelah, membutuhkan segala yang kita butuhkan.

Remang cahaya Yogyakarta, suasananya yang santai, syahdunya perbincangan tengah malam di lesehan pinggir jalan, dan senyum ramah yang menyapa di setiap sudut jalan. Ah, Tuhan pasti sedang senang saat membuat kota Yogyakarta.

“Mungkin benar kata Joko Pinurbo, Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, angkringan dan juga Semi Eita” ㅡShirabu Kenjiro.

Dua insan kota Yogya

Pairs: SemiShira (Semi Eita x Shirabu Kenjiro) Tags: Fluff, Local! Au.


Coba tanyakan pada setiap orang yang pernah tinggal di Yogyakarta selama beberapa waktu, mana kota yang paling romantis di Indonesia. Jawaban mereka pasti sama: Yogyakarta sebagai pilihan kota romantis mereka.

Begitupun dengan Shirabu, jika dia di beri pertanyaan seputar Yogyakarta hal yang akan pertama kali terlintas di pikirannya pastilah Semi Eita. Karna, katanya, Semi Eita adalah salah satu dari sekian banyaknya fragmentasi yang di berikan oleh kota Yogyakarta kepada dirinya untuk dinikmati.

Ada sesuatu tentang Yogyakarta yang membuat Shirabu selalu jatuh cinta dan dipenuhi nostalgia. Kota ini memang layaknya seorang kekasih yang memberikan rasanyaman dan aman. Dan ketika mereka yang pernah mencicipi keromantisan kota Yogya harus menjejakkan kaki pergi dari kota ini, layaknya kekasih pula, Yogyakarta selalu dirindukan.

Sama seperti Shirabu, yang selalu merindukan Semi.

Dan Semi, yang juga selalu merindukan Shirabu.


Jl. Malioboro. Pukul 20.00 malam hari.

Semi berjalan berdampingan dengan Shirabu, kala bibirnya kelu untuk memulai sebuah percakapan, fikirannya terlalu kosong untuk sekedar membuka pembicaraan. Padahal ia yang pertama mengajak Shirabu pergi dengannya.

Atau ia terlalu senang karna bisa berduaan dengan sang pujaan hati, yang selalu ia damba sedari Sekolah Menengah Atas.

“Kak Semi?” Panggil Shirabu. Semi yang sedari tadi berfikir, mengalihkan atensinya kepada Shirabu yang kini tengah berdiri didepannya.

“Hm? Ada apa Bu?” Tanyanya. Shirabu menggeleng, lantas menimbulkan seribu pertanyaan melintas dalam kepala Semi.

“Gapapa, aku lihat wajah kakak kurang bersemangat. Kakak sedang sakit?” Tanya Shirabu lagi. Semi menggeleng, dan memberikan Shirabu senyum terbaik yang dia miliki.

“Aku gapapa, mungkin karna dingin? Yogyakarta sedang dingin akhir-akhir ini” Semi berujar. Shirabu mendelik, memberikan tatapan penuh selidik kearah Semi yang dihadiahi tatapan tanya dari orang yang ia beri sanksi mata. Yang kemudian dibalas delikan acuh dari Shirabu.

Lalu mereka tak bersua lagi, kembali berjalan membelah kerumunan orang di Jalan Malioboro ini. Mereka berkeliling sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi kesebuah angkringan yang cukup jauh dari hiruk pikuk manusia.

Mengambil tempat berhadapan, Semi dapat leluasa melihat setiap lekuk indah wajah Shirabu tanpa takut sang empunya memergokinya. Keheningan terasa kembali, meski angkringan ini menyetel lagu sepertinya mereka lebih suka sunyi untuk satu sama lain.

Tak ada yang ingin memulai percakapan, terlalu malu.

“Kak Semi tidak suka pergi bersama Shirabu?.” Pertanyaan mengagetkan datang dari bibir cherry Shirabu, yang membuat Semi berkedip berulang-ulang.

hah batinnya.

“Bukan seperti itu, Shira.” Ujar Semi. Shirabu melirik Semi sebentar, sebelum akhirnya ia menundukkan kepalanya kembali.

“Lalu? Kenapa kakak tidak bersuara sedari tadi? Padahal aku ingin lebih lama mendengar suara kakak” kalimat dibagian akhir sengaja Shirabu kecilkan seperti berbisik, agar Semi tak dapat mendengarnya dengan jelas.

Berutung, tempat yang mereka berdua datangi ramai akan orang berbincang. Jadi, kemungkinan Semi untuk mendengar kalimat terakhirnya sangatlah tipis.

“Hehe, aku terlalu bingung untuk memulai percakapan ini. Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang pandai mencari topik pembicaraan. Bahkan semua temanku berkata jikalau aku adalah manusia yang tak tahu caranya bersosialisasi dengan orang,

Aku mempunyai sahabat 3 orang saja sangat bersyukur.” tutur Semi. Shirabu yang mendengarnya tersenyum, akhirnya, ia bisa mendengarkan suara Semi lebih lama.

“Tapi menurutku ngga tuh” tukas Shirabu. Semi memberikan Shirabu tatapan pertanyaan.

“Maksudnya?”

“Iya, kakak itu orangnya asik kok. Masalah mencari topik, aku suka membahas topik apa saja. Jangan khawatir kehabisan pembicaraan, aku sangat senang untuk membantu kakak tak keluar dari percakapan hehehe.” Shirabu berucap.

Hangat.

Itulah yang Semi rasakan pada sekitaran dadanya, melihat senyum semanis madu milik Shirabu memberikan ketenangan hati dalam dirinya.

“Terima kasih” Ujar Semi tulus. Shirabu mengembangkan senyumnya menjadi cengir kemudian mengangguk tanda ia menjawab pernyataan terima kasih Semi.

Percakapan mereka terputus sementara karna pesanan mereka datang. Mereka menikmati waktu berdua, tanpa takut ada yang mengusik.


Rumah Shirabu Pukul 22.00 malam

“Kak Semi, terima kasih atas waktunya selama 3 jam ini. Aku sangat menikmatinya.” Tutur Shirabu. Semi mengangguk, dan mengusak surai kecoklatan Shirabu.

“Sama-sama, sudah sana masuk. Hari semakin malam, berda diluar terlalu lama akan membuatmu masuk angin.” Semi berujar. Shirabu mengangguk, kemudian berpamitan.

“Kalau gitu, aku izin masuk dulu ya. Selamat malam kak Semi!” Ujar Shirabu. Semi tak langsung menjawab, ia masih bergeming.

Apakah aku harus menyatakannya sekarang? Atau tidak? Tapi, kata orang tak baik menunda-nunda. Baiklah, aku akan menyatakannya sekarang, batin Semi menggebu.

“Em Shirabu?” Panggil Semi. Shirabu yang tadinya ingin membuka pagar rumahnya berbalik, kemudian menjawab panggilan Semi.

“Ya? Kak?” Tanya Shirabu.

“Errr... Semi suka sama Shirabu” pernyataan lantang keluar dengan lancar dari mulut Semi. Yang membuat Shirabu terkejut, dan senang di saat bersamaan.

“Kakak... suka Shira?” Tanya Shirabu tak percaya. Semi mengagguk dengan yakin.

“Shira juga suka kakak” ujar Shirabu malu. Semi tak berkutik, rasanya ia ingin berteriak kegirangan karna cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

“Kamu... serius?”

Shirabu mengangguk.

“Mamaaaa”

“AHAHAHAHA”

Malam itu, adalah malam yang sangat sangat berharga bagi keduanya. Siapa sangka pernyataan cinta mendadak dari Semi, membuahkan hasil yang sangat jauh dari ekspektasi awal Semi.


Pun Yogyakarta layaknya seorang kekasih, kota ini selalu mengingatkan kita bahwa ‘rumah’ tidak melulu tentang tempat, seringkali ‘rumah’ adalah tentang perasaan. Perasaan terhadap seseorang, terserah perasaan macam apa. Setiap orang mempunyai pandangan tersendiri tentang sebuah perasaan bukan?

Mereka juga, bisa menjadi 'rumah' berpulang, ketika kita lelah, membutuhkan segala yang kita butuhkan.

Remang cahaya Yogyakarta, suasananya yang santai, syahdunya perbincangan tengah malam di lesehan pinggir jalan, dan senyum ramah yang menyapa di setiap sudut jalan. Ah, Tuhan pasti sedang senang saat membuat kota Yogyakarta.

“Mungkin benar kata Joko Pinurbo, Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, angkringan dan juga Semi Eita” ㅡShirabu Kenjiro.

Pendahuluan, yang menjadi Penutup.

Tuan, kita pernah saling mengisi hari hari kita yang sangat singkat dengan sebuah pertemuan, yang tak pernah sama sekali kita rencanakan.

Merancang rencanapun, tidak.

Takdir yang membawa kita untuk bertemu sapa, hingga pada akhirnya menjadi sia.

Kita pernah lagi bertemu, saat engkau meninggalkanku, lalu kau kembali.

Tapi engkau enggan menjadikanku rumahmu lagi, kau hanya menjadikanku rumah persinggahan. Yang akhirnya kau tinggalkan bersama kenangan.

Segala kenangan yang kau tinggalkan terhadapku, masih 'ku dekap dengan erat. Seakan tak ingin ia menjadi sudah, yang lenyap termakan usia.

Terimakasih, Tuan. Karna engkau, aku tahu apa itu arti sebenarnya sebuah Pendahuluan yang akhirnya, akan ada Penutup yang menyudahi semua kisah ini agar menjadi sempurna.

Terimakasih, Tuan. Karna engkau, aku tahu bagaimana rasa benar-benar mencintai seseorang. Yang jika ingin dilepaskan hanya akan mencoreng luka.

Tapi, kau yang meninggalkan.

Dan aku ingin ber-terimakasih lagi, Tuan. Karna engkau aku bisa setabah langit, selapang samudra dan seikhlas alam semesta. Karna engkau, menjadikanku sebagai orang yang kuat menyanjung pertemuan yang akhirnya ditinggalkan tanpa kata permisi.

Halaman tak berjudul.

“Hai, aku datang lagi untuk kesekian kalinya.”

Hongjoong berjongkok di depan pusara tempat dimana Jongho, sang kekasih hatinya kini beristirahat.

“Rupanya memang benar kau tak mau pulang, eh? Hahaha.” Hongjoong berkata miris, mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Jongho dengan tinta keemasan cantik yang menghiasi.

“Kau lebih suka rumah baru-mu ya? Tak apa, selagi kau nyaman aku tak mempermasalahkannya” meletakkan bunga Chrisyan putih kesukaan Jongho. Di sana, Hongjoong banyak bercerita tentang kesehariannya.

Dia berbicara seakan-akan Jongho berada di sana, mendengarkan semua celoteh-nya dan berharap dia mendapatkan balasan.

Namun, Nihil.

Hanya angin sore yang berhembus kencang, sebagai jawaban akan semua celotehnya.

“Bagaimana keadaanmu di sana? Apakah kau makan dengan teratur? Apa kau tak melupakan minummu?” Tanya Hongjoong.

Sunyi.

Hongjoong tersenyum gentir, betapa bodohnya dia. Berbicara kepada sebuah makam, yang hanya berbentuk gundukan tanah dan rumput yang menumbuhinya.

“Tak menjawab rupanya”

Hening. Terlalu hening.

Semilir angin yang sedari tadi menari menerbangkan surai hitam Hongjoong kini berhenti, seperti menandakan kalau mereka juga berduka.

“Kau tahu? Aku sudah hampir gila karna merindukanmu. Aku hampir putus asa kepada hidupku, dan berfikir jika aku ikut dengan mu pergi kesana adalah pilihan yang tepat. Namun, ada sebuah rasa yang jua tak ingin aku berbuat seperti itu. Aku harus bagaimana?”

Cairan bening perlahan menuruni pelupuk mata Hongjoong, air mata yang bisa berbicara bagaimana sakit hatinya yang entah telah berapa lama ia pendam sendiri.

Tiba-tiba saja Hongjoong berdiri, kemudian menghapus jejak air matanya.

“Kalau begitu aku pulang dulu, tetap jaga dirimu baik baik ya? Aku sayang kamu” Setelahnya, Hongjoong mulai berjalan kearah motornya kemudian meninggalkan areal pemakaman.

“Huh? Mengapa dia cepat sekali meninggalkan makam? Apakah dia tak tahu, bahwa aku merindukan dia?” Geram Jongho.

namun raut wajahnya berubah lagi menjadi sendu

“aku menjawab semua pertanyaanmu kak, hanya saja kau tak dapat mendengarku”

_

Halaman tak berjudul.

“Hai, aku datang lagi untuk kesekian kalinya.”

Hongjoong berjongkok di depan pusara tempat dimana Jongho, sang kekasih hatinya kini beristirahat.

“Rupanya memang benar kau tak mau pulang, eh? Hahaha.” Hongjoong berkata miris, mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Jongho dengan tinta keemasan cantik yang menghiasi.

“Kau lebih suka rumah baru-mu ya? Tak apa, selagi kau nyaman aku tak mempermasalahkannya” meletakkan bunga Chrisyan putih kesukaan Jongho. Di sana, Hongjoong banyak bercerita tentang kesehariannya.

Dia berbicara seakan-akan Jongho berada di sana, mendengarkan semua celoteh-nya dan berharap dia mendapatkan balasan.

Namun, Nihil.

Hanya angin sore yang berhembus kencang, sebagai jawaban akan semua celotehnya.

“Bagaimana keadaanmu di sana? Apakah kau makan dengan teratur? Apa kau tak melupakan minummu?” Tanya Hongjoong.

Sunyi.

Hongjoong tersenyum gentir, betapa bodohnya dia. Berbicara kepada sebuah makam, yang hanya berbentuk gundukan tanah dan rumput yang menumbuhinya.

“Tak menjawab rupanya”

Hening. Terlalu hening.

Semilir angin yang sedari tadi menari menerbangkan surai hitam Hongjoong kini berhenti, seperti menandakan kalau mereka juga berduka.

“Kau tahu? Aku sudah hampir gila karna merindukanmu. Aku hampir putus asa kepada hidupku, dan berfikir jika aku ikut dengan mu pergi kesana adalah pilihan yang tepat. Namun, ada sebuah rasa yang jua tak ingin aku berbuat seperti itu. Aku harus bagaimana?”

Cairan bening perlahan menuruni pelupuk mata Hongjoong, air mata yang bisa berbicara bagaimana sakit hatinya yang entah telah berapa lama ia pendam sendiri.

Tiba-tiba saja Hongjoong berdiri, kemudian menghapus jejak air matanya.

“Kalau begitu aku pulang dulu, tetap jaga dirimu baik baik ya? Aku sayang kamu” Setelahnya, Hongjoong mulai berjalan kearah motornya kemudian meninggalkan areal pemakaman.

——-

Tiga Pagi

“Yeosang, ayo kita pindah ke dalam saja. Di sini anginnya sudah mulai mendingin.” Jongho berujar. Yeosang melihat ke arah Jongho dengan senyuman pasi.

“Biarkan sedikit lagi aku menikmati semilir angin ini, Tuan. Saat aku mati nanti, aku tak dapat merasakan lagi angin malam yang membelai halus kulitku, Tuan.” Yeosang mengatakannya dengan lemah. Bak seorang bayi yang baru saja keluar dari rahim sang ibu.

Jongho mengangguk, meski ada rasa khawatir di dalam hatinya. Ia ingin sekali melihat tarikan simpul di bibir sang kekasih hati.

“Baiklah, aku beri 15 menit lagi. Apakah itu cukup?” Tanya Jongho, Yeosang segera mengangguk dengan senyum merekah menghiasi wajah indahnya.

15 menit berlalu

“Yeosang? Apakau sudahㅡ”

Perkataan Jongho terhenti, tatkala netranya melihat Yeosang tengah tertidur lelap di kursi rodanya dengan jaket tebal milik Jongho tersampir pada bahunya yang sempit.

Sedari tadi, Jongho meninggalkan Yeosang di taman karena dokter yang menangani Yeosang memanggilnya ke dalam rumah sakit. Dan ia baru hadir 15 menit kemudian.

Perlahan, Jongho mendekati Yeosang. Menggerakkan bahu Yeosang sedikit kencang, berharap sang kekasih hatinya bangun.

Namun, nihil yang didapat oleh Jongho.

Yeosang sang kekasih hatinya, telah pergi bersamaan dengan angin malam yang menghantarnya pulang menemui sang Pencipta.

Pukul tiga pagi itu, kedukaan hati Jongho bersua menangis atas kepergian sang kekasih hati.

mungkin pilu musti meranggas. Biar terlihat sakitnya oleh mata-mata dan tubuh yang takut akan mati. mungkin luka musti menganga biar terlihat sakitnya oleh angin malam yang suka mencumbui kaki gunung

Nabastala Eunoia Alvaro

Nama yang begitu indah, terukir apik dalam dinding hati ini, Mendapat tempat ter-istimewa dalam ruang cinta dan rindu. Selalu menjadi penarik senyum ketika seseorang meneriakkan namanya.

Selalu menjadi rumahku untuk terus pulang dan berlindung. Laki-laki yang sangat tahu, bagaimana caranya membangkitkan sejuta kupu-kupudalam perut dan paru-paruku.

Lelaki yang cerdas dalam menyisipkan setiap kata rindu dalam goresan tinta yang ia layangkan kepada buku jurnal hariannya. Lelaki bermulut manis, yang selalu saja membuatku ingin terus terjatuh dalam peluk hangatnya.