Sepasang bola mata menatap narnar kepada tubuh yang dingin dalam dekapnya, pancar sinar yang biasa tertangkap pada netranya meredup, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.
Kosong dan tak punya arah tujuan.
Hatinya seperti teriris namun matanya tak bisa menangis, gambaran beberapa menit lalu terlintas dibenaknya, dimana ia masih memeluk tubuh orang terkasihnya tertawa dan bahkan mengucapkan kata cinta kepada satu sama lain, mereka bahkan masih sempat menghitung bintang yang nampak pada langit malam itu.
“Hari ini bulan dan bintang nampak lebih terang bukan, Xiao?” Albedo bertanya dengan suara yang amat pelan. Xiao, pria yang sedang mengelus rambut pria yang sedang ia peluk mengangguk setuju.
“Ya, sangat indah Albedo. Andai saja esok kita bisa melihat ini lagi, ya. Pasti sangat menyenangkan.” Katanya. Albedo tertawa pelan, kemudian mengeratkan pelukannya kepada Xiao.
“Aku rasa itu akan menjadi waktu yang sangat berharga jika kejadian ini, bisa terulang kembali,” Albedo mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya “Xiao, why does the end of the world look so beautiful?”
Xiao bungkam, bingung ingin menjawab apa, jika ia menjawab lelakinya dia takut kalau air matanya sewaktu-waktu akan turun dengan deras.
“Xiao, mereka berdua tahu kapan itu berakhir di nebula berbintang yang menelan mereka. Before that happens, I just want to say that I love you, always.” Sesaat Albedo berkata demikian, nafasnya berhenti. Xiao sudah tidak bisa mendengar detak jantung Albedo yang menjadi candunya disetiap ingin tertidur dimalam hari.
Xiao menangis dalam diam, bingung ingin melakukan apa. Atau lebih tepatnya berbuat apa pada jasad sang kekasih yang ada dipelukannya. Ia tak mau menyerahkan tubuh kekasihnya ke rumah sakit, lalu mereka akan mengubur Albedo di tanah. Tidak, tidak, ia tidak mau.
End:)