Elegi

Nafasku pergi bersama cintamu.

Salju hari ini sangat tebal, hawa dingin yang sangat menusuk kulit membuat badanku seakan tidak mau beranjak pergi dari kasur yang hangat ini, mataku sedari tadi hanya mentap langit-langit kamar sembari mengkhayal bersamanya.

Hingga lamunanku buyar karna pintu kamarku diketuk. Dengan malas aku menyibak selimutku, dan membawa tubuhku bangun untuk hanya sekedar membuka pintu.

Di depan pintu ada kakakku yang tersenyum, mengatakan padaku bahwa aku harus segera bersiap karna sebentar lagi kita akan pergi kemakam nenek. Aku hanya mengangguk kemudian menutup kembali pintu kamarku, menyambar handuk kemudian bergegas pergi ke kamar mandi yang terdapat di dalam kamarku.

Tak butuh waktu lama untuk selesai mandi, aku mengambil beberapa setel baju hangat sebanyak 4 lapis kemudian memakainya. Sebelum kebawah aku tak lupa mengambil topiku.

“Rapih sekali, seperti ingin pergi bersama orang spesial.”

Itulah yang ibukku katakan saat kakiku menginjak lantai bawah. Aku hanya tersenyum, dan menyambar roti yang sudah ibukku sediakan.


Sepanjang perjalanan pulang dari makam, pikiranku tak pernah lepas dari anak lelaki yang ku temui tadi.

Surat hari pertama.

Hai, Ayato ini adalah hari pertama setelah kamu pergi, semuanya terasa hampa, kosong dan sunyi. Aku tidak terbiasa dengan semua ini, aku tak bisa berteman dengan dinginnya rumah ini sedangkan dulu rumah yang kita tinggali bersama selalu terasa hangat; meski hanya kita berdua.

Hari ini juga, Ayaka tinggal di sini, di rumah kita. Matanya sangat sembab, aku kasihan melihatnya. Ia juga sepanjang hari terus termenung di kursi taman, melihatnya yang dahulu ceria dan membandingkannya dengan dirinya yang pendiam seperti sekarang membuat hatiku berkedut sakit.

Ayaka sehabis makan malam tadi langsung pergi kekamar, tidak berkata satu patah apapun, aku tak keberatan karna mungkin... ia masih susah menerima fakta bahwa kakak yang ia kasihi, ia hormati telah mendahuluinya.

Waka.... apakah menurutmu surat ini bisa pergi sendiri ke surga? Apakah di sana ada tinta dan kertas? Apakah kau bisa membalas pesanku? Hahaha, pertanyaanku bodoh sekali ya? Tapi aku yakin, kamu bisa melihat tulisan-tulisan 'ku dari atas sana, kan?

Ini baru hari pertama, tapi aku sudah merindukanmu. Semoga kamu bahagia di rumah mu yang baru ya, Waka! Sampai bertemu disurat selanjutnya.

With love, Thoma.

Surat cinta.

Ku tuliskan sebuah aksara cinta, untukmu tuan pengembara dari negeri Inazuma, dariku Xiao Alatus; barang kali, di semesta yang sama ini, kita saling mencinta.

Sudah 2 bulan purnama lamanya aku mendamba keindahanmu sedari sudut kota, melihat senyum indah rupawan bagai untaian kata tak tersirat dibalik awan putih; seputih salju.

Ku sirami setiap hari hatiku dengan air, siapa tahu rasa cintaku padamu tumbuh dan mengalir dengan deras; sederas hujan pada sore hari.

Hei tuan, sudahkah anda mencintaiku lagi pada hari ini? Berapa lama lagikah aku harus mendamba rupamu dalam gelap?

At the end of the world.

An Albexiao/Xiaobedo au


Sepasang bola mata menatap narnar kepada tubuh yang dingin dalam dekapnya, pancar sinar yang biasa tertangkap pada netranya meredup, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.

Kosong dan tak punya arah tujuan.

Hatinya seperti teriris namun matanya tak bisa menangis, gambaran beberapa menit lalu terlintas dibenaknya, dimana ia masih memeluk tubuh orang terkasihnya tertawa dan bahkan mengucapkan kata cinta kepada satu sama lain, mereka bahkan masih sempat menghitung bintang yang nampak pada langit malam itu.


“Hari ini bulan dan bintang nampak lebih terang bukan, Xiao?” Albedo bertanya dengan suara yang amat pelan. Xiao, pria yang sedang mengelus rambut pria yang sedang ia peluk mengangguk setuju.

“Ya, sangat indah Albedo. Andai saja esok kita bisa melihat ini lagi, ya. Pasti sangat menyenangkan.” Katanya. Albedo tertawa pelan, kemudian mengeratkan pelukannya kepada Xiao.

“Aku rasa itu akan menjadi waktu yang sangat berharga jika kejadian ini, bisa terulang kembali,” Albedo mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya “namun sayangnya tidak bisa ya. Hahaha. ” Albedo tertawa gentir. “Xiao, why does the end of the world look so beautiful?”

Xiao bungkam, bingung ingin menjawab apa, he is totally agree if the end of the world was always beautiful, always do.

melihat keterbungkaman sang kekasih, Albedo dengan cepat berbicara lagi.

“Xiao, mereka berdua tahu kapan itu berakhir di nebula berbintang yang menelan mereka. Before that happens, I just want to say that I love you, always.” Xiao tersenyum gentir, diusapnya pelan wajah sang terkasih mengecupnya perlahan, Xiao memperlakukan Albedo seperti barang fragile yang bilamana ditaruh sembarang, akan mudah untuk hancur.

“Albedo, i always love you, you know that do you? Bahkan jika kosmos memintaku untuk mati, demi membuktikan sebetapa cintaku padamu, sampai mati-pun, aku rela.”

Albedo tertawa lemas, jemarinya yang pucat menggenggam erat tangan Xiao yang tak hentinya mengelus pipinya. Albedo memejamkan matanya, ia kembali merasakan kehangatan dari yang terkasih. Ah ia begitu senang bisa menghabiskan hari terakhirnya bersama sang kekasih.

Lama mereka terdiam, larut dalam fikiran masing-masing tak perduli sedingin apa semilir angin yang terus menerus menerpa keduanya sedari balkon kamar mereka. Hujan yang terus mengguyur di luar rumah 'pun tak digubrisnya, bagaikan angin lalu.

“Xiao, berjanjilah padaku jika suatu saat nanti aku telah tiada, hiduplah terus bersama bayanganmu ya? Jangan berjalan bersama bayanganku, karna bahwasannya bayanganku sudah ikut mati bersamaku, terkubur dalam di tanah yang becek itu. Terus lah hidup dan jangan pernah menyalahkan semesta, ataupun Tuhan.”

Sepersekian detik sehabis terang terbitlah gelap, nafas yang selama ini mengalun indah ditelinganya mendadak berhenti, malaikat kini menangis melihat salah satu hambanya pergi bermain-main bersama angin malam.

“Albedo, tolong katakan padaku bagaimana caranya aku melawan penjahat waktu? Satu-satu bagianku kini mulai terkuai lemas.” Ucap Xiao.


End.

Maaf kalau tidak jelas:”

Sepasang bola mata menatap narnar kepada tubuh yang dingin dalam dekapnya, pancar sinar yang biasa tertangkap pada netranya meredup, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.

Kosong dan tak punya arah tujuan.

Hatinya seperti teriris namun matanya tak bisa menangis, gambaran beberapa menit lalu terlintas dibenaknya, dimana ia masih memeluk tubuh orang terkasihnya tertawa dan bahkan mengucapkan kata cinta kepada satu sama lain, mereka bahkan masih sempat menghitung bintang yang nampak pada langit malam itu.

“Hari ini bulan dan bintang nampak lebih terang bukan, Xiao?” Albedo bertanya dengan suara yang amat pelan. Xiao, pria yang sedang mengelus rambut pria yang sedang ia peluk mengangguk setuju.

“Ya, sangat indah Albedo. Andai saja esok kita bisa melihat ini lagi, ya. Pasti sangat menyenangkan.” Katanya. Albedo tertawa pelan, kemudian mengeratkan pelukannya kepada Xiao.

“Aku rasa itu akan menjadi waktu yang sangat berharga jika kejadian ini, bisa terulang kembali,” Albedo mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya “namun sayangnya tidak bisa ya. Hahaha. ” Albedo tertawa gentir. “Xiao, why does the end of the world look so beautiful?”

Xiao bungkam, bingung ingin menjawab apa, he is totally agree if the end of the world was always beautiful, always do.

“Xiao, mereka berdua tahu kapan itu berakhir di nebula berbintang yang menelan mereka. Before that happens, I just want to say that I love you, always.” Sesaat Albedo berkata demikian, nafasnya berhenti. Xiao sudah tidak bisa mendengar detak jantung Albedo yang menjadi alasannya untuk ingin tertidur dimalam hari.

“Albedo, i just remembered the movie i watch last night. The movie was called 'the graves of firefly. One day, when they catch the firefly on the night sadly, the firefly have to die someday. So she ask her brother 'why do firefly have to die soon?' Her brother just silence, and can't be able to answer the Question that his sister gave to him. So that is my answer for you.” Ucap Xiao.

Xiao gently brush Albedo hair, menyanyikan lullaby kesukaan Albedo. Semua rasa sedihnya menjadi satu dalam sapuan jarinya pada rambut Albedo. Saat dipenghujung liriknya, Xiao mengecup dahi sang kekasih untuk terakhir kalinya.


It was night when you died, my firefly. What could I have said to raise you from the dead? Oh could I be the sky on the Fourth of July?

End:)

Sepasang bola mata menatap narnar kepada tubuh yang dingin dalam dekapnya, pancar sinar yang biasa tertangkap pada netranya meredup, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.

Kosong dan tak punya arah tujuan.

Hatinya seperti teriris namun matanya tak bisa menangis, gambaran beberapa menit lalu terlintas dibenaknya, dimana ia masih memeluk tubuh orang terkasihnya tertawa dan bahkan mengucapkan kata cinta kepada satu sama lain, mereka bahkan masih sempat menghitung bintang yang nampak pada langit malam itu.

“Hari ini bulan dan bintang nampak lebih terang bukan, Xiao?” Albedo bertanya dengan suara yang amat pelan. Xiao, pria yang sedang mengelus rambut pria yang sedang ia peluk mengangguk setuju.

“Ya, sangat indah Albedo. Andai saja esok kita bisa melihat ini lagi, ya. Pasti sangat menyenangkan.” Katanya. Albedo tertawa pelan, kemudian mengeratkan pelukannya kepada Xiao.

“Aku rasa itu akan menjadi waktu yang sangat berharga jika kejadian ini, bisa terulang kembali,” Albedo mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya “namun sayangnya tidak bisa ya. Hahaha. ” Albedo tertawa gentir. “Xiao, why does the end of the world look so beautiful?”

Xiao bungkam, bingung ingin menjawab apa, he is totally agree if the end of the world was always beautiful, always do.

“Xiao, mereka berdua tahu kapan itu berakhir di nebula berbintang yang menelan mereka. Before that happens, I just want to say that I love you, always.” Sesaat Albedo berkata demikian, nafasnya berhenti. Xiao sudah tidak bisa mendengar detak jantung Albedo yang menjadi alasannya untuk ingin tertidur dimalam hari.

“Albedo, i just remembered the movie i watch last night. The movie was called 'the graves of firefly. One day, when they catch the firefly on the night sadly, the firefly have to die someday. So she ask her brother 'why do firefly have to die soon?' Her brother just silence, and can't be able to answer the Question that his sister gave to him. So that is my answer for you.” Ucap Xiao.

Xiao gently brush Albedo hair, menyanyikan lullaby kesukaan Albedo. Semua rasa sedihnya menjadi satu dalam sapuan jarinya pada rambut Albedo. Saat dipenghujung liriknya, Xiao mengecup dahi sang kekasih untuk terakhir kalinya.

It was night when you died, my firefly. What could I have said to raise you from the dead? Oh could I be the sky on the Fourth of July?

End:)

Sepasang bola mata menatap narnar kepada tubuh yang dingin dalam dekapnya, pancar sinar yang biasa tertangkap pada netranya meredup, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.

Kosong dan tak punya arah tujuan.

Hatinya seperti teriris namun matanya tak bisa menangis, gambaran beberapa menit lalu terlintas dibenaknya, dimana ia masih memeluk tubuh orang terkasihnya tertawa dan bahkan mengucapkan kata cinta kepada satu sama lain, mereka bahkan masih sempat menghitung bintang yang nampak pada langit malam itu.

“Hari ini bulan dan bintang nampak lebih terang bukan, Xiao?” Albedo bertanya dengan suara yang amat pelan. Xiao, pria yang sedang mengelus rambut pria yang sedang ia peluk mengangguk setuju.

“Ya, sangat indah Albedo. Andai saja esok kita bisa melihat ini lagi, ya. Pasti sangat menyenangkan.” Katanya. Albedo tertawa pelan, kemudian mengeratkan pelukannya kepada Xiao.

“Aku rasa itu akan menjadi waktu yang sangat berharga jika kejadian ini, bisa terulang kembali,” Albedo mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya “Xiao, why does the end of the world look so beautiful?”

Xiao bungkam, bingung ingin menjawab apa, jika ia menjawab lelakinya dia takut kalau air matanya sewaktu-waktu akan turun dengan deras.

“Xiao, mereka berdua tahu kapan itu berakhir di nebula berbintang yang menelan mereka. Before that happens, I just want to say that I love you, always.” Sesaat Albedo berkata demikian, nafasnya berhenti. Xiao sudah tidak bisa mendengar detak jantung Albedo yang menjadi candunya disetiap ingin tertidur dimalam hari.

Xiao menangis dalam diam, bingung ingin melakukan apa. Atau lebih tepatnya berbuat apa pada jasad sang kekasih yang ada dipelukannya. Ia tak mau menyerahkan tubuh kekasihnya ke rumah sakit, lalu mereka akan mengubur Albedo di tanah. Tidak, tidak, ia tidak mau.

End:)

Aku menemukan bagian terbaik dari sesuatu, meninggalkanmu dengan cincin yang pernah kau berikan, tak ada lagi benda kecil indah itu lagi tersemat dijariku.

Meninggalkan semuanya bersama kenangan pernah kita buat, ntah aku tak sedih sama sekali, karna untuk apa aku sedih? Kau perduli denganku saja tidak. Menjauh darimu memanglah keputusan yang tepat, setelah berkali-kali hati ini kau patahkan dengan seenak hati, tanpa memikirkan bagaimana rasanya diinjak-injak sampai mati.

Hatiku kini keras, sekeras batu, tak ada lagi kurasa hangat membara dari penunjang kelangsungan hidupku ini. Semuanya terasa beku, bagaikan mati disiram air dingin.

Kau di sana tertawa sendiri menari riang tak henti, seakan merayakan kebebasan tak berarti. Sudah berapa triwulan kau berdendang sendiri? Mati ragamu tak pernah terjamah manusia.

Aku selalu mengejarmu untuk kembali, tapi kau malah asyik bernyanyi sembari melenggokkan tubuhmu. Teriakanku seperti angin lalu ditelingamu.

Selamat ulang tahun untuk yang terkasih, Zhongli.

Hari ini pukul 00.00 tanggal 31 Desember 2021 telah bertambah 1 tahun umurmu, kamu berbahagia sekarang diumur-mu yang tak lagi terbilang muda. Panjang umur, sehat selalu sayangku.

Aku ingin mengucapkan terima kasih, mungkin kau sudah lelah mendengarkan ucapan terima kasih yang terlontar dari buah bibirku, kali ini izinkan-lah aku membubuhkan tanda terima kasihku lewat sepucuk surat yang ku tulis untukmu.

Terima kasih karna kau sudah melewati banyak hal yang selalu tak terduga disetiap harinya, melewati kesakitan ditiap pergantian tahun, bahkan menghirup udara saja kau bahkan terlihat sesak. Tak apa, itu tandanya kau seorang manusia biasa meski aku tahu, kamu adalah makhluk imortal.

Rasa sakitmu, beban berat yang harus kau pikul beribu-ribu tahun, akhirnya terangkat saat kau memutuskan untuk pensiun menjadi archon. Tapi raut sedih akan kehilangan orang-orang yang kau kasihi terpampang jelas, oh andaikan saja ku bisa menghapus jejak air wajahmu yang suram itu.

Jangan khawatir, aku tahu bahwa ada masanya semua kegundahanmu itu terangkat, dan segala sedihmu dihapusnya. Em, bukan sekarang mungkin nanti?

Aku terkagum-kagum atas usahamu yang tak kenal lelah, kini kau bisa beristirahat dan menjalani kehidupan yang normal.

Maaf jika surat ini terkesan aneh dan tidak seperti yang kau harapkan.

Sekali lagi, aku ingin mengucapkan Selamat Ulang tahun Zhongli.

My beloved one. The one and only.

—————————————-‐——-

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.

Ayathoma au.

Tags: major chara death , bxb.


Pada waktu musim gugur, banyak dedaunan yang melayang pergi lepas sedari dahan pohon, mereka melenggak-lenggok mengikuti arah angin yang entah kemana membawa mereka pergi. Sama seperti engkau yang pada hari itu juga meninggalkan ku pergi, padahal diriku selalu menunggumu pulang dengan doa yang tiada henti. Aku sempat berpikir engkau meninggalkanku karena kau tak sayang lagi padaku, nyatanya aku salah. Tetapi, karna Tuhanlah yang lebih sayang padamu sehingga ia mengambil hambanya dari sisiku untuk di tempatkan disisi kanannya. Kau beruntung sekali, ya?

Sewaktu-waktu datanglah berkunjung kesini, ceritakanlah padaku bagaimana rasanya berada di tempat yang sangat indah. Aku akan selalu menunggumu disini kau tahu? Akan dengan sabarnya aku menghitung waktu demi waktu, bulan demi bulan, tahun demi tahun agar aku bisa mendengar engkau bercerita dengan riang lagi seperti yang lalu-lalu. Ah, dunia ini rasanya hampa karena tiadanya kau disini, Thoma. Tapi aku juga tak bisa meninggalkan semua ini bukan? Kenangan yang kau tinggalkan di dunia ini masih sangat membekas dibenakku.

Tidak, aku tidak menyalahkan semua takdir yang telah menggariskan cerita pilu kepada kita. Karena daun yang jatuh, bahkan tak pernah membenci sang angin yang telah menerbangkan dan membawanya pergi dari hangatnya pelukan ranting. Aku ingin seperti daun, yang selalu bertahan untuk memaafkan sekitar hingga akhirnya mengering sendiri. Kalau bisa aku juga ingin seperti sang pohon, yang bisa melepas kepergian sang daun dengan lapang dada. Meskipun ia tau bahwa itu adalah waktu dimana daun-daun itu harus berguguran, ia tetap tak membenci siapapun bahkan dirinya sendiri.

jadi, berbahagialan di sana, maka aku akan berbahagia juga.

—Ayato.