Elegi

I will go to you like the first snow.

AyaItto au.

Itto POV

Bulan desember tahun ini cukup berbeda dari sebelumnya, yang biasanya jalanan kota Inazuma dipenuhi oleh warga kini hanya sepi yang melanda, yah, karna sejak pandemi semua pergerakan dibatasi dan tidak boleh sembarangan keluar rumah jika tidak ada yang penting.

Namun Itto tak perduli, aku tetap menyusuri jalanan kota Inazuma demi membeli boba kesukaan Aniki, ia pasti senang jika aku membelikannya itu. Kemudian aku bergegas menuju stand boba yang dahulu sering dibeli oleh Aniki, aku memesankan brownsugar boba kesukaannya.

Setelah semuanya selesai, aku segera bergegas menuju ke kediaman Kamisato sambil bersenandung riang, hahaha hari ini belum terlalu dingin karna salju belum turun, entah kapan salju pertama itu akan turun.


Author pov

Kamisato Family Grave.

Setelah bertemu dengan Thoma, mereka segera berjalan menuju makam keluarga Kamisato, Itto memasang wajah tak sabar ketika Thoma mendorong pagarnya.

Ketika sudah terbuka, dengan tak sabar Itto masuk kemudian melesat cepat kesalah satu makam.

“Halo, Aniki, Itto hari ini datang sesuai yang Itto janjikan bulan lalu.” Ujarnya lembut. Ia mengusap batu nisan Ayato dengan lembut, sambil berjuang mempertahankan air matanya.

“Hari ini, Itto membawakan brown sugar boba untuk Aniki, dan sebucket bunga Tsubaki untuk Aniki, apakah Aniki suka?” Tanyanya. Thoma yang memperhatikan Itto sedari jauh tak kuasa menahan tangisnya.

“Aniki, hari ini Itto pergi bermain kumbang di Ritou, idenya Shinobu, tapi rasanya ada yang aneh karna Itto gak bisa lagi bermain sama Aniki,” Itto mengeluarkan sebotol air, ia kemudian menyiramkannya keatas nisan Ayato. “Itto tadi menang loh, ini adalah kemenangan Itto yang ke 20, Itto senang sekali.”

Itto bermonolog sedangkan tangannya masih dengan telaten membersihkan nisan Ayato.

“Bulan desember ini sangat berbeda dari yang sebelum sebelumnya ya, Aniki? Huh sebal sekali rasanya tidak bisa berkeliaran dengan bebas hahaha.” Tawanya. Bukan, itu bukan tawa bebas, melainkan adalah tawa sedih yang keluar dari bibir Itto.

“Aniki, maaf aku menemuimu kala salju pertama belum turun, aku sudah merindukanmu, dan akan selamanya merindukan Aniki. Hei Aniki, apakah surga nyaman hingga kau lebih memilih surga dibanding tinggal di Dunia bersamaku?” Suaranya bergetar, air matanya tak terbendung lagi.

Kecil. An chennett au.

Tags: mcd , Major Character Death , bxb .


“Bennett, my precious bunny, you're so small, i just wanna hold you like this until the world tear us appart.”


Kaki kecil itu melangkah dengan riang meski tangannya memegang sebuah tongkat kecil untuk menuntun langkahnya. Dari belakang, terdengar tawa riang seorang pria yang berjaga, takut sewaktu-waktu lelaki di depannya ini terjatuh.

“Benny hati-hati jalannya, nanti tersandung.” Ujar Childe.

Bennett —atau benny, dengan cepat memalingkan kepalanya dan tersenyum dengan cerah kearah Childe.

“Tidak kok, kan ada kamu yang berjaga di belakang hihi.”

Childe tersenyum, ia kemudian melangkahkan kakinya dengan cepat sebelum kemudian men sejajarkan dirinya dengan Bennett.

“Pelan-pelan saja, Bunny bukitnya tidak akan kemana-mana.” Tegur Childe.

“Tapi kalau tidak segera kesana, nanti banyak orang yang menduduki pohon yang sering kita datangi, aku tak mau itu kejadian!” Ujar Bennett kesal.

“Hahaha yaampun, lagipula ini malam hari Bunny, tidak akan ada yg merebutnya tenang saja.”

“Ah kau benar juga, habisnya a

Story about me and you.

Zhongchi fluff au🥳


Kepadamu sang permata hati, yang telah merebut pandang pertama kali dan jatuh hati kesekian kali, izinkan-lah aku 'tuk menulis sebuah perjalanan kisah cinta kita untukmu yang telah menerangi gelapnya hati.

Hari pertama saat aku melihatmu berdiri di barisan paling belakang saat upacara bendera, aku berbicara kepada diriku sendiri bahwa aku telah benar-benar jatuh cinta. Tak pernah aku merasakan rasa aneh di dada, saat pertama kali melihat orang. Ini pertama kalinya, aku merasakan puluhan ribu kupu-kupu menari disetiap bagian dada dan perutku.

Aku kira aku akan mati akan hal itu.

Kedua, saat aku mengetahui bahwa kita sekelas, kau mau tahu seberapa bahagianya aku ini? Aku hendak memeluk siapapun yang ku temui di jalan, aku teriak seperti orang gila di depan papan pengumuman. Mereka menatapku dengan tatapan aneh, tapi aku tak perduli, aku lebih perduli dengan bagaimana kita akan sering bertemu.

Ketiga, saat kita mulai dekat dengan satu sama lain. Saat kita kelas 11 itu adalah pertama kalinya aku mendatangi rumahmu untuk kerja kelompok, aku bertemu dengan ibumu, rupanya sama cantik denganmu. Tak heran jikalau dirimu indah dari permata di laut.

Aku gugup saat memasuki kamar tidurmu, aku dapat mencium aromamu disetiap sudut kamar ini. Rasanya aku ingin segera memberitahu dunia karna aku terlalu senang.

Keempat, pada saat hari kelulusan kita. Bisa dibilang itu adalah hari dimana aku mendapat patah hati pertamaku, ternyata selama ini kau yang selalu ku damba dalam diam ternyata mempunyai seorang kekasih. Kau membawanya saat hari pelepasan anak kelas 12, aku bingung dan sedih. Aku tak tahu harus melakukan apa, yang ku tahu hanyalah aku ingin cepat-cepat menyudahi semua ini dan berbaring di atas kasurku seharian, sambil mendengarkan lagu sedih.

Kekanakan memang.

Lalu, kita bertemu lagi 7 tahun setelah kelulusan SMA. Ternyata kita satu kantor, satu devisi pula. Aku bertanya-tanya apakah ini sebuah pertanda takdir yang nyata?

Kita tak pernah saling menyapa lagi setelah sekian lama, rasanya saat bertemu kembali itu canggung, rasa bayang sakit hatiku kala itu masih menghantuiku sampai bertahun-tahun lamanya. Yang ku kira penyembuh luka, nyatanya menjadi luka baru yang tak pernah sembuh.

Tapi suatu hari, tiba-tiba saja kau menyambangi tempat dudukku, hendak menanyakan pekerjaan yang tidak kau mengerti, aku tersentak dan perlahan menjauhkan sedikit bangkuku agar tak terlalu dekat denganmu, melihat itu air wajahmu berubah, tatapanmu seperti kecewa setengah mati.

Maafkan aku, aku memang manusia yang bodoh, aku terlalu egois sampai melukai hatimu dengan sikapku.

Berbulan-bulan kau mencoba untuk berkomunikasi denganku, aku yang tadinya sedingin es batu lama kelamaan menjadi lelehan es batu yang hangat, rasa cinta yang sudah ku pukul menjauhi hatiku perlahan muncul kembali, aku bertanya-tanya apakah kali ini aku bisa mendapatkan cinta yang ku cari selama ini?

Satu tahun kemudian aku memantapkan diriku untuk melamarmu, karna jika nanti ditunda-tunda aku takkan bisa lagi mengambilmu untuk menjadi pasangan hidupku sampai mati.

Aku ingat sekali bagaimana terkejutnya dirimu saat aku melamarmu, haha, kau tak menyangka karna aku tiba-tiba melamarmu, ya? Saat kau mengatakan kau mau menikahiku, dirimu menangis kencang sembari memelukku erat.

Aku gugup setengah mati, tanganku bergetar tak terkira ketika kau mengatakan kau ingin menikahi diriku yang bahkan pernah menyerah dengan cintanya.

Setelah kita menikah, kau menceritakan semuanya, kau menceritakan mengapa kau memacari Aether karna kau lelah menungguku untuk menembakmu. Aku sungguh minta maaf karna telah menjadi manusia paling tidak peka dengan perasaanmu, tapi kau masih mau memaafkanku.

Tapi sudahlah, itu semua hanya masa lalu, untuk yang sekarang hanya ada aku dan kamu selamanya, tiada masa lalu yang bisa memisahkan kita karna aku selalu berjanji untuk selalu mencintai dan menyayangimu dengan sepenuh hatiku sampai aku mati, sampai kita menua bersama, sampai kita tak bisa mengingat kapan terakhir kali kita saling berpegangan tangan, kapan terakhir kali kita mengucapkan selamat malam.

Childe, terima kasih karna kau sudah dengan sabar menungguku selama ini, aku selalu mencintaimu dengan seluruh ragaku, terima kasih cintaku karna sekarang kau telah menjadi rumahku untuk berpulang.

Dari aku yang selalu menyayangimu,

Zhongli.

Take myself home.

Zhongchi ficlet au.


And happiness Is right there where you lost it, If I'm gonna waste my time, then it's time to go Take myself home. ———-‐————————————-

“Aku rasa, sepertinya tidak ada yang bisa kita bicarakan lagi, Zhongli. Semua sudah jelas.”

Pria di depannya ini hanya bisa membisu ditengah ramainya taman kota malam itu, bibirnya membisu tak bisa berkata apapun.

“5 tahun, 5 tahun Zhongli, 5 tahun kau meninggalkanku tanpa kabar jelas, 5 tahun aku memendam rasa sendirian. Kau hanya menitipkan sepucuk surat dengan aksara yang sangat singkat, kau menaruhnya di nakas mejaku, sekarang setelah semua itu kau berani-beraninya datang kehadapanku meminta maaf dan membawa pulang istri serta anakmu, selama kau menghilang dari 5 tahun yang lalu? Mana harga dirimu.” Ucap Childe. Sebenarnya ia ingin sekali menaikkan volume suaranya, tetapi ia tahu diri, mereka sedang berada di tengah keramaian taman kota.

Childe ingin sekali meneriaki lelaki didepannya ini, ingin memukulnya, kalau bisa ingin membunuhnya sekarang juga. Namun, rasa cinta yang masih ia pelihara dengan baik selama 5 tahun itu menghentikannya.

Childe sebenarnya tidak pernah menaruh dendam pada pria yang lebih tua 3 tahun darinya ini. Ia tak pernah, setiap hari, setiap menit, setiap detik rasa cintanya pada Zhongli selalu bertumbuh, selalu berkembang. Tak pernah habis, rasa cintanya yang besar itu lah yang mengalahkan segala ego negatifnya, segala rasa benci dan marah yang seharusnya menemaninya 5 tahun ini, ditepis keras-keras oleh rasa cintanya.

Sekarang, apa yang bisa Childe lakukan? Tidak ada, ia hanya bisa menangis merutuki mengapa ia sama sekali tak bisa melepaskan Zhongli.

“Maaf, maaf, sungguh aku minta maaf, aku tak bermaksud.” Kata Zhongli. Childe bisa mendengar perasaan bersalah dari ucapan Zhongli.

“Kau tahu, Zhongli? Selama 5 tahun ini, aku selalu mencari keberadaanmu, aku selalu mencarimu disetiap tempat yang kita pernah datangi, aku menunggumu di situ selama berhari-hari berharap dirimu datang kembali.” Childe menjeda ucapannya, “tapi apa yang kudapatkan? Hanya segelintir debu dan daun yang terjatuh. Yang ku dapatkan hanyalah kekecewaan karna aku terlalu berharap kepada Ekspektasi, tetapi realitanya sangat berbeda.”

“Aku benci karna selama ini, aku tak pernah bisa membencimu, aku selalu mencintaimu meski kau sekarang telah bersama yang lain, rasa cintaku padamu yang membunuhku disetiap tidur malamku, cintaku yang terlalu besar untuk hatiku yang kecil ini,

Kebahagiaanku sekarang perlahan menghilang, selama 5 tahun ini aku menunggu rasanya sia-sia. Jika saja jatuh cinta itu hanyalah permainan; aku lebih memilih untuk tidak terlibat dalam permainan ini.” Ucapnya Final.

“Pergilah, terima kasih atas 5 tahun kebersamaannya, dan 5 tahun untuk kau yang meninggalkanku. Aku pamit dulu, semoga kau selalu bahagia. Anggap saja rasa itu tak pernah ada.”

Zhongli hanya bisa menatap kepergian Childe dengan senyap. Ia bersumpah kalau ia melihat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Childe.

“Childe, jika saja waktu bisa diulang kembali, aku ingin memilih tinggal berada bersamamu.”

Selesai:D

Nafasku pergi bersama cintamu.

Salju hari ini sangat tebal, hawa dingin yang sangat menusuk kulit membuat badanku seakan tidak mau beranjak pergi dari kasur yang hangat ini, mataku sedari tadi hanya mentap langit-langit kamar sembari mengkhayal bersamanya.

Hingga lamunanku buyar karna pintu kamarku diketuk. Dengan malas aku menyibak selimutku, dan membawa tubuhku bangun untuk hanya sekedar membuka pintu.

Di depan pintu ada kakakku yang tersenyum, mengatakan padaku bahwa aku harus segera bersiap karna sebentar lagi kita akan pergi kemakam nenek. Aku hanya mengangguk kemudian menutup kembali pintu kamarku, menyambar handuk kemudian bergegas pergi ke kamar mandi yang terdapat di dalam kamarku.

Tak butuh waktu lama untuk selesai mandi, aku mengambil beberapa setel baju hangat sebanyak 4 lapis kemudian memakainya. Sebelum kebawah aku tak lupa mengambil topiku.

“Rapih sekali, seperti ingin pergi bersama orang spesial.”

Itulah yang ibukku katakan saat kakiku menginjak lantai bawah. Aku hanya tersenyum, dan menyambar roti yang sudah ibukku sediakan.


Sepanjang perjalanan pulang dari makam, pikiranku tak pernah lepas dari anak lelaki yang ku temui tadi.

Surat hari pertama.

Hai, Ayato ini adalah hari pertama setelah kamu pergi, semuanya terasa hampa, kosong dan sunyi. Aku tidak terbiasa dengan semua ini, aku tak bisa berteman dengan dinginnya rumah ini sedangkan dulu rumah yang kita tinggali bersama selalu terasa hangat; meski hanya kita berdua.

Hari ini juga, Ayaka tinggal di sini, di rumah kita. Matanya sangat sembab, aku kasihan melihatnya. Ia juga sepanjang hari terus termenung di kursi taman, melihatnya yang dahulu ceria dan membandingkannya dengan dirinya yang pendiam seperti sekarang membuat hatiku berkedut sakit.

Ayaka sehabis makan malam tadi langsung pergi kekamar, tidak berkata satu patah apapun, aku tak keberatan karna mungkin... ia masih susah menerima fakta bahwa kakak yang ia kasihi, ia hormati telah mendahuluinya.

Waka.... apakah menurutmu surat ini bisa pergi sendiri ke surga? Apakah di sana ada tinta dan kertas? Apakah kau bisa membalas pesanku? Hahaha, pertanyaanku bodoh sekali ya? Tapi aku yakin, kamu bisa melihat tulisan-tulisan 'ku dari atas sana, kan?

Ini baru hari pertama, tapi aku sudah merindukanmu. Semoga kamu bahagia di rumah mu yang baru ya, Waka! Sampai bertemu disurat selanjutnya.

With love, Thoma.

Surat cinta.

Ku tuliskan sebuah aksara cinta, untukmu tuan pengembara dari negeri Inazuma, dariku Xiao Alatus; barang kali, di semesta yang sama ini, kita saling mencinta.

Sudah 2 bulan purnama lamanya aku mendamba keindahanmu sedari sudut kota, melihat senyum indah rupawan bagai untaian kata tak tersirat dibalik awan putih; seputih salju.

Ku sirami setiap hari hatiku dengan air, siapa tahu rasa cintaku padamu tumbuh dan mengalir dengan deras; sederas hujan pada sore hari.

Hei tuan, sudahkah anda mencintaiku lagi pada hari ini? Berapa lama lagikah aku harus mendamba rupamu dalam gelap?

At the end of the world.

An Albexiao/Xiaobedo au


Sepasang bola mata menatap narnar kepada tubuh yang dingin dalam dekapnya, pancar sinar yang biasa tertangkap pada netranya meredup, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.

Kosong dan tak punya arah tujuan.

Hatinya seperti teriris namun matanya tak bisa menangis, gambaran beberapa menit lalu terlintas dibenaknya, dimana ia masih memeluk tubuh orang terkasihnya tertawa dan bahkan mengucapkan kata cinta kepada satu sama lain, mereka bahkan masih sempat menghitung bintang yang nampak pada langit malam itu.


“Hari ini bulan dan bintang nampak lebih terang bukan, Xiao?” Albedo bertanya dengan suara yang amat pelan. Xiao, pria yang sedang mengelus rambut pria yang sedang ia peluk mengangguk setuju.

“Ya, sangat indah Albedo. Andai saja esok kita bisa melihat ini lagi, ya. Pasti sangat menyenangkan.” Katanya. Albedo tertawa pelan, kemudian mengeratkan pelukannya kepada Xiao.

“Aku rasa itu akan menjadi waktu yang sangat berharga jika kejadian ini, bisa terulang kembali,” Albedo mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya “namun sayangnya tidak bisa ya. Hahaha. ” Albedo tertawa gentir. “Xiao, why does the end of the world look so beautiful?”

Xiao bungkam, bingung ingin menjawab apa, he is totally agree if the end of the world was always beautiful, always do.

melihat keterbungkaman sang kekasih, Albedo dengan cepat berbicara lagi.

“Xiao, mereka berdua tahu kapan itu berakhir di nebula berbintang yang menelan mereka. Before that happens, I just want to say that I love you, always.” Xiao tersenyum gentir, diusapnya pelan wajah sang terkasih mengecupnya perlahan, Xiao memperlakukan Albedo seperti barang fragile yang bilamana ditaruh sembarang, akan mudah untuk hancur.

“Albedo, i always love you, you know that do you? Bahkan jika kosmos memintaku untuk mati, demi membuktikan sebetapa cintaku padamu, sampai mati-pun, aku rela.”

Albedo tertawa lemas, jemarinya yang pucat menggenggam erat tangan Xiao yang tak hentinya mengelus pipinya. Albedo memejamkan matanya, ia kembali merasakan kehangatan dari yang terkasih. Ah ia begitu senang bisa menghabiskan hari terakhirnya bersama sang kekasih.

Lama mereka terdiam, larut dalam fikiran masing-masing tak perduli sedingin apa semilir angin yang terus menerus menerpa keduanya sedari balkon kamar mereka. Hujan yang terus mengguyur di luar rumah 'pun tak digubrisnya, bagaikan angin lalu.

“Xiao, berjanjilah padaku jika suatu saat nanti aku telah tiada, hiduplah terus bersama bayanganmu ya? Jangan berjalan bersama bayanganku, karna bahwasannya bayanganku sudah ikut mati bersamaku, terkubur dalam di tanah yang becek itu. Terus lah hidup dan jangan pernah menyalahkan semesta, ataupun Tuhan.”

Sepersekian detik sehabis terang terbitlah gelap, nafas yang selama ini mengalun indah ditelinganya mendadak berhenti, malaikat kini menangis melihat salah satu hambanya pergi bermain-main bersama angin malam.

“Albedo, tolong katakan padaku bagaimana caranya aku melawan penjahat waktu? Satu-satu bagianku kini mulai terkuai lemas.” Ucap Xiao.


End.

Maaf kalau tidak jelas:”

Sepasang bola mata menatap narnar kepada tubuh yang dingin dalam dekapnya, pancar sinar yang biasa tertangkap pada netranya meredup, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.

Kosong dan tak punya arah tujuan.

Hatinya seperti teriris namun matanya tak bisa menangis, gambaran beberapa menit lalu terlintas dibenaknya, dimana ia masih memeluk tubuh orang terkasihnya tertawa dan bahkan mengucapkan kata cinta kepada satu sama lain, mereka bahkan masih sempat menghitung bintang yang nampak pada langit malam itu.

“Hari ini bulan dan bintang nampak lebih terang bukan, Xiao?” Albedo bertanya dengan suara yang amat pelan. Xiao, pria yang sedang mengelus rambut pria yang sedang ia peluk mengangguk setuju.

“Ya, sangat indah Albedo. Andai saja esok kita bisa melihat ini lagi, ya. Pasti sangat menyenangkan.” Katanya. Albedo tertawa pelan, kemudian mengeratkan pelukannya kepada Xiao.

“Aku rasa itu akan menjadi waktu yang sangat berharga jika kejadian ini, bisa terulang kembali,” Albedo mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya “namun sayangnya tidak bisa ya. Hahaha. ” Albedo tertawa gentir. “Xiao, why does the end of the world look so beautiful?”

Xiao bungkam, bingung ingin menjawab apa, he is totally agree if the end of the world was always beautiful, always do.

“Xiao, mereka berdua tahu kapan itu berakhir di nebula berbintang yang menelan mereka. Before that happens, I just want to say that I love you, always.” Sesaat Albedo berkata demikian, nafasnya berhenti. Xiao sudah tidak bisa mendengar detak jantung Albedo yang menjadi alasannya untuk ingin tertidur dimalam hari.

“Albedo, i just remembered the movie i watch last night. The movie was called 'the graves of firefly. One day, when they catch the firefly on the night sadly, the firefly have to die someday. So she ask her brother 'why do firefly have to die soon?' Her brother just silence, and can't be able to answer the Question that his sister gave to him. So that is my answer for you.” Ucap Xiao.

Xiao gently brush Albedo hair, menyanyikan lullaby kesukaan Albedo. Semua rasa sedihnya menjadi satu dalam sapuan jarinya pada rambut Albedo. Saat dipenghujung liriknya, Xiao mengecup dahi sang kekasih untuk terakhir kalinya.


It was night when you died, my firefly. What could I have said to raise you from the dead? Oh could I be the sky on the Fourth of July?

End:)

Sepasang bola mata menatap narnar kepada tubuh yang dingin dalam dekapnya, pancar sinar yang biasa tertangkap pada netranya meredup, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.

Kosong dan tak punya arah tujuan.

Hatinya seperti teriris namun matanya tak bisa menangis, gambaran beberapa menit lalu terlintas dibenaknya, dimana ia masih memeluk tubuh orang terkasihnya tertawa dan bahkan mengucapkan kata cinta kepada satu sama lain, mereka bahkan masih sempat menghitung bintang yang nampak pada langit malam itu.

“Hari ini bulan dan bintang nampak lebih terang bukan, Xiao?” Albedo bertanya dengan suara yang amat pelan. Xiao, pria yang sedang mengelus rambut pria yang sedang ia peluk mengangguk setuju.

“Ya, sangat indah Albedo. Andai saja esok kita bisa melihat ini lagi, ya. Pasti sangat menyenangkan.” Katanya. Albedo tertawa pelan, kemudian mengeratkan pelukannya kepada Xiao.

“Aku rasa itu akan menjadi waktu yang sangat berharga jika kejadian ini, bisa terulang kembali,” Albedo mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya “namun sayangnya tidak bisa ya. Hahaha. ” Albedo tertawa gentir. “Xiao, why does the end of the world look so beautiful?”

Xiao bungkam, bingung ingin menjawab apa, he is totally agree if the end of the world was always beautiful, always do.

“Xiao, mereka berdua tahu kapan itu berakhir di nebula berbintang yang menelan mereka. Before that happens, I just want to say that I love you, always.” Sesaat Albedo berkata demikian, nafasnya berhenti. Xiao sudah tidak bisa mendengar detak jantung Albedo yang menjadi alasannya untuk ingin tertidur dimalam hari.

“Albedo, i just remembered the movie i watch last night. The movie was called 'the graves of firefly. One day, when they catch the firefly on the night sadly, the firefly have to die someday. So she ask her brother 'why do firefly have to die soon?' Her brother just silence, and can't be able to answer the Question that his sister gave to him. So that is my answer for you.” Ucap Xiao.

Xiao gently brush Albedo hair, menyanyikan lullaby kesukaan Albedo. Semua rasa sedihnya menjadi satu dalam sapuan jarinya pada rambut Albedo. Saat dipenghujung liriknya, Xiao mengecup dahi sang kekasih untuk terakhir kalinya.

It was night when you died, my firefly. What could I have said to raise you from the dead? Oh could I be the sky on the Fourth of July?

End:)