At the end of the world.

An Albexiao/Xiaobedo au


Sepasang bola mata menatap narnar kepada tubuh yang dingin dalam dekapnya, pancar sinar yang biasa tertangkap pada netranya meredup, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.

Kosong dan tak punya arah tujuan.

Hatinya seperti teriris namun matanya tak bisa menangis, gambaran beberapa menit lalu terlintas dibenaknya, dimana ia masih memeluk tubuh orang terkasihnya tertawa dan bahkan mengucapkan kata cinta kepada satu sama lain, mereka bahkan masih sempat menghitung bintang yang nampak pada langit malam itu.


“Hari ini bulan dan bintang nampak lebih terang bukan, Xiao?” Albedo bertanya dengan suara yang amat pelan. Xiao, pria yang sedang mengelus rambut pria yang sedang ia peluk mengangguk setuju.

“Ya, sangat indah Albedo. Andai saja esok kita bisa melihat ini lagi, ya. Pasti sangat menyenangkan.” Katanya. Albedo tertawa pelan, kemudian mengeratkan pelukannya kepada Xiao.

“Aku rasa itu akan menjadi waktu yang sangat berharga jika kejadian ini, bisa terulang kembali,” Albedo mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya “namun sayangnya tidak bisa ya. Hahaha. ” Albedo tertawa gentir. “Xiao, why does the end of the world look so beautiful?”

Xiao bungkam, bingung ingin menjawab apa, he is totally agree if the end of the world was always beautiful, always do.

melihat keterbungkaman sang kekasih, Albedo dengan cepat berbicara lagi.

“Xiao, mereka berdua tahu kapan itu berakhir di nebula berbintang yang menelan mereka. Before that happens, I just want to say that I love you, always.” Xiao tersenyum gentir, diusapnya pelan wajah sang terkasih mengecupnya perlahan, Xiao memperlakukan Albedo seperti barang fragile yang bilamana ditaruh sembarang, akan mudah untuk hancur.

“Albedo, i always love you, you know that do you? Bahkan jika kosmos memintaku untuk mati, demi membuktikan sebetapa cintaku padamu, sampai mati-pun, aku rela.”

Albedo tertawa lemas, jemarinya yang pucat menggenggam erat tangan Xiao yang tak hentinya mengelus pipinya. Albedo memejamkan matanya, ia kembali merasakan kehangatan dari yang terkasih. Ah ia begitu senang bisa menghabiskan hari terakhirnya bersama sang kekasih.

Lama mereka terdiam, larut dalam fikiran masing-masing tak perduli sedingin apa semilir angin yang terus menerus menerpa keduanya sedari balkon kamar mereka. Hujan yang terus mengguyur di luar rumah 'pun tak digubrisnya, bagaikan angin lalu.

“Xiao, berjanjilah padaku jika suatu saat nanti aku telah tiada, hiduplah terus bersama bayanganmu ya? Jangan berjalan bersama bayanganku, karna bahwasannya bayanganku sudah ikut mati bersamaku, terkubur dalam di tanah yang becek itu. Terus lah hidup dan jangan pernah menyalahkan semesta, ataupun Tuhan.”

Sepersekian detik sehabis terang terbitlah gelap, nafas yang selama ini mengalun indah ditelinganya mendadak berhenti, malaikat kini menangis melihat salah satu hambanya pergi bermain-main bersama angin malam.

“Albedo, tolong katakan padaku bagaimana caranya aku melawan penjahat waktu? Satu-satu bagianku kini mulai terkuai lemas.” Ucap Xiao.


End.

Maaf kalau tidak jelas:”