Tiga Pagi
“Yuuji, ayo kita pindah ke dalam saja. Di sini anginnya sudah mulai mendingin.” Megumi berujar. Yuuji melihat ke arah Megumi dengan senyuman pasi.
“Biarkan sedikit lagi aku menikmati semilir angin ini, Gumi. Saat aku mati nanti, aku tak dapat merasakan lagi angin malam yang membelai halus kulitku.” Yuuji mengatakannya dengan lemah. Bak seorang bayi yang baru saja keluar dari rahim sang ibu.
Megumi mengangguk, meski ada rasa khawatir di dalam hatinya. Ia ingin sekali melihat tarikan simpul di bibir sang kekasih hati.
“Baiklah, aku beri 15 menit lagi. Apakah itu cukup?” Tanya Megumi. Yuuji segera mengangguk dengan senyum merekah menghiasi wajah indahnya, yang membuat Megumi mau tak mau menarik senyumannya.
15 menit berlalu
“Yuuji? Apakau sudahㅡ”
Perkataan Megumi terhenti, tatkala netranya melihat Yuuji tengah tertidur lelap di kursi rodanya dengan jaket tebal milik Megumi tersampir pada bahunya yang sempit.
Sedari tadi, Megumi meninggalkan Yuuji di taman karena dokter yang menangani Yuuji memanggilnya ke dalam rumah sakit. Dan ia baru hadir 15 menit kemudian.
Perlahan, Megumi mendekati Yuuji. Menggerakkan bahu Yuuji sedikit kencang, berharap sang kekasih hatinya bangun.
Namun, nihil yang didapat oleh Megumi.
Yuuji sang kekasih hatinya, telah pergi bersamaan dengan angin malam yang menghantarnya pulang menemui sang Pencipta.
Pukul tiga pagi itu, kedukaan hati Megumi bersua menangis atas kepergian sang kekasih hati.
mungkin pilu musti meranggas. Biar terlihat sakitnya oleh mata-mata dan tubuh yang takut akan mati. mungkin luka musti menganga biar terlihat sakitnya oleh angin malam yang suka mencumbui kaki gunung.